Bisnis.com, JAKARTA - Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memutuskan untuk tidak lagi melakukan pendekatan penegaka hukum terhadap pelanggar kendaraan berdimensi dan bermuatan lebih atau over dimension dan over load (ODOL). Pendekatan edukasi, sosialisasi dan komunikasi akan lebih diutamakan.
Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) menilai selama ini pengemudi truk menanggung beban sistem logistik yang salah. Bukan hanya rugi, pengemudi yang terbebani sistem yang keliru juga membuat pekerjaan tersebut semakin dijauhi dan tidak adanya kaderisasi.
Besarnya beban kepada pengemudi hanyalah fenomena gunung es. Tidak hanya menanggung beban sistem yang salah, beban pungutan liar, minimnya kaderisasi dan bimbingan teknis membuat mereka semakin rugi.
Belum lagi, ongkos muat justru minim sehingga perolehan bagi hasil pengemudi dan pengusaha truk dikhawatirkan tidak ideal.
"Saat ini ongkos muat kembali ke angka di tahun 2000-an. Sudah terlalu minim. Maka perolehan bagi hasil antara pengemudi dengan pengusaha truk pun anjlok," jelas Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Djoko Setijowarno, Jumat (25/2/2022).
Adapun, pemerintah dan aparat kepolisian akan tetap mendorong upaya perwujudan Indonesia Bebas ODOL pada awal 2023.
Setelah maraknya aksi protes, Kemenhub pun menggunakan pendekatan soft power seperti edukasi bagi para pengemudi. Kegiatan tersebut sudah dilakukan di antaranya kemarin, Kamis (24/2/2022), saat Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub mengundang para asosiasi pelaku logistik, pemilik truk sampai dengan asosiasi pengemudi untuk membahas tentang kebijakan pelarangan ODOL.
Berdasarkan hasil diskusi yang masih akan berlanjut itu, Kemenhub menyampaikan bahwa pelaku logistik darat, khususnya asosiasi pengemudi truk, menyampaikan keluhan terkait dengan tarif angkutan barang yang tidak sesuai saat ini.
Dalam artian, tarif angkutan barang dari pengguna jasa cenderung tidak kompetitif apabila pengangkutan barang tidak menggunakan kendaraan yang berdimensi lebih. Bahkan, kendaraan yang justru tidak sesuai dengan aturan dimensi dan muatan dipandang tidak menarik.
Konsekuensinya, pengemudi atau operator pun rela menggunakan kendaraan ODOL untuk mengangkut muatan yang melampaui batas toleransi, demi harga yang lebih kompetitif.
"Inilah yang membuat para pengemudi mengangkut barang melebihi dari kapasitas," jelas Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiyadi pada konferensi pers kemarin, Kamis (24/2/2022).
Budi mengatakan bahwa para pengemudi mengeluhkan pengguna jasa yang meminta mereka untuk mengangkut muatan barang berlebih.
Contohnya, apabila batas toleransi muatan barang suatu kendaraan angkutan barang seberat 20 ton, namun pengemudi diminta untuk mengangkut muatan seberat 30 ton. Terdapat kelebihan muatan 10 ton.
Oleh sebab itu, pengemudi meminta agar pengguna jasa juga ikut bertanggung jawab atau ikut ditindak jika terbukti terjadinya pelanggaran. Namun, hingga saat ini, aturan hukum belum memfasilitasi penindakan hukum kepada pengguna jasa.
"Termasuk juga yang diminta asosiasi pengemudi yaitu jangan sampai hanya pengemudi saja yang disalahkan, namun tidak kepada pemilik barang atau pemilik kendaraan," jelas Budi.
Kendati demikian, solusi yang dipilih oleh pemerintah dan aparat kepolisian adalah tidak menggunakan penindakan hukum kepada pelanggar aturan dimensi dan muatan angkutan barang. Budi menyampaikan bahwa pihaknya dan Korlantas Polri akan mengutamakan pendekatan persuasif dan preemptive.