Bisnis.com, JAKARTA – Sebanyak 25 pelabuhan di Indonesia bakal mengintegrasikan sistem informasi kepelabuhanan yang standar dalam melayani kapal dan barang secara fisik lewat Inaportnet.
Kasubdit Sistem Informasi dan Sarana Prasarana Angkutan Laut Kemehub, Eko Sudarmanto menuturkan hingga 2021 secara total telah Inaportnet telah dikembangkan di sebanyak 77 pelabuhan baik pelabuhan kelas utama, kelas 1, 2,3, 4, dan Unit Pelayanan Publik (UPP). Pengembangan Inaportnet dimulai pada 2016 di pelabuhan utama yakni Makassar, Belawan, Tanjung Perak, dan Tanjung Priok.
Kemudian pada 2017 terdapat penambahan sebanyak 12 Pelabuhan pengembangan di pelabuhan kelas 1 dan sebagian kelas 2. Berlanjut pada 2018 Inaportnet barang di lima Pelabuhan pengembangan modul barang di lima Pelabuhan integrasi.
Memasuki 2019, ada penambahan 16 Pelabuhan termasuk kelas 3 dan 4. Lalu pada 2020 penambahan 21 pelabuhan kelas 3 dan 4 serta UPP. Hingga akhir tahun lalu atau pada 2021, terdapat penambahan 23 pelabuhan kelas 3 dan 4 serta integrasi.
“Akan dikembangkan Inaportnet di 25 pelabuhan pada 2022. Ke depan semua harus terdigitalisasi. Ini tantangan besar kita karena kondisi masing-masing pelabuhan berbeda dan masih banyak kekurangan di infrastruktur tiap pelabuhan,” ujarnya, Rabu (23/2/2022).
Saat ini, paparnya, pengembangan Inaportnet tidak bergerak sendiri tetapi akan menjadi mitra dengan aplikasi lainnya supaya bisa berlangsung secara bersama-sama. Inaportnet juga akan terkoneksi dengan prises trucking serta kenavigasian kapal. Bahkan juga dengan lintas lembaga seperti Kementerian Perdagangan. Tak hanya itu, data manifestasi muatan juga akan terintegrasi dengan angkutan mineral dan batubara.
Oleh karena itu, dia berpendapat Inaportnet harus berbenah menyesuaikan tuntutan yang ada.
Selama ini, bebernya, kendala dan permasalahan logistik di Indonesia tidak lepas duplikasi dan repetis. Misalnya penyerahan manifest barang oleh agen pelayaran ke Syahbandar karantina dan Bea Cukai. Data manifest ini juga dibutuhkan beberapa Kementerian atau lembaga. Kemudian tingkat penerapan otomasi sendiri beberapa Kementerian/ Lembaga sudah menerapkan secara daring tetapi beberapa menerapkan semi otomasi dan beberapa bahkan belum menerapkan otomasi.
Belum lagi inefisiensi distribusi barang karena sulitnya importir mencari ketersediaan truk kontainer setelah mendapatkan persetujuan pengeluaran barang karena antara sistem informasi truk dengan sistem informasi K/L belum terhubung. Ini juga meliputi belum sinkronnya informasi tentang ketersediaan dan kebutuhan alat ikut menyebabkan tingginya idle capacity alat angkut, biaya broker dan pengenaan tarif yang tidak transparan.
Hingga platform dari hulu ke hilir belum tersedia yang berdampak kepada sulitnya para pelaku logistik untuk mendapatkan informasi yang akurat tentang keberadaan muatan dan ketersediaan truk gudang. Berlanjut kepada sulitnya importir mendapatkan transparansi harga sewa gudang dan biaya angkut truk. Bahkan, sulitnya para importir mengetahui status pengurusan dokumen dan keberadaan barangnya secara Real Time
Di sisi lain dalam proses digitalisasi sektor pelabuhan juga masih dihadapkan terhadap sejumlah tantangan. Dari sisi Sumber Daya Manusia (SDM),keinginan untuk berubah dan reluktansi yang tinggi merupakan barier dalam implementasi aplikasi di Kementerian. Apabila melihat dari sisi peraturan, dukungan dasar peraturan merupakan bagian yang dapat melindungi pergerakan dan keputusan yang diambil jika hukum sudah berubah pengambilan penerapan pun menjadi sulit.