Bisnis.com, JAKARTA – Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah mengkhawatirkan beberapa dampak dari ketegangan Rusia dengan Ukraina, yang utama yaitu di Pasar Keuangan.
“Saya perkirakan pasar keuangan di seluruh dunia akan bereaksi negatif. Indeks akan terkoreksi dan harga surat berharga turun atau dengan kata lain imbal hasil [yield] akan meningkat,” ujar Piter, Kamis (24/2/2022).
Masalah lain, Piter melihat jika ketegangan Rusia-Ukraina meningkat bahkan menuju ke perang fisik dan melibatkan banyak negara, perekonomian global dipastikan akan terganggu.
“Supply chain akan terganggu, pertumbuhan ekonomi global terkontraksi. Kondisinya akan Lebih buruk,” jelas Piter yang juga Dosen Perbanas Institute.
Lebih mengkhawatirkan lagi dampaknya terhadap Indonesia, di mana pemulihan ekonomi akan terganggu. Kegiatan ekspor impor pun ikut terganggu dan berujung kepada landainya konsumsi dan investasi.
“Pemerintah diharapkan bisa ikut dalam diplomasi global meredakan ketegangan khususnya lagi mencegah perang yang melibatkan banyak negara,” lanjut Piter.
Baca Juga
Sementara disisi lain, menurutnya, ketika kondisi global terganggu oleh ketegangan tersebut, pemerintah harus mengoptimalkan pasar domestik untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi.
Satu pendapat dengan Piter, Ekonom sekaligus Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara melihat dampak konflik Ukraina dan Rusia yang paling terasa di sektor keuangan.
“Rupiah sudah bergerak dari Rp14.500 melemah dan ini akan terus bergerak, diperkirakan akan mendekati level Rp15.000 jika konfliknya semakin luas dan melibatkan banyak negara,” jelas Bhima, Kamis (24/2/2022).
Dampaknya adalah akan menimbulkan instabilitas di kawasan dan akan merugikan prospek pemulihan dan stabilitas moneter yang ada di Indonesia. Pasalnya, saat ini kondisi keuangan bertepatan dengan tapering off dan juga kenaikan suka bunga yang terjadi di negara maju.
Efek lainnya yaitu menurut Bhima terjadinya inflasi karena harga minyak mentah sudah tembus US$100 per barel sementara anggaran APBN untuk minyak hanya US$63 per barel.
Kondisi ini pun berdampak pada naiknya biaya logistik sehingga harga kebutuhan meningkat, sementara daya beli masyarakat semakin rendah dan efek terhadap subsidi energinya akan membengkak cukup signifikan.
“Oleh karena itu saya mendesak pemerintah untuk segera melakukan perubahan APBN untuk menyesuaikan kembali beberapa indikator nilai tukar rupiah dan juga inflasi, karena inflasi dapat terjadi diluar perkiraan,” lanjutnya
Bhima meminta pemerintah untuk mengantisipasi kekacauan ini dengan menambah dana untuk pemulihan ekonomi nasional (PEN) untuk stabilitas harga bahan pokok dan energi.
Menurutnya, jika pemerintah ingin menargetkan pertumbuhan ekonomi diatas lima persen maka harus dipastikan stabilitas pokok masyarakat baik minyak goreng, kedelai, maupun komoditas lainnya. Komoditas BBM, yaitu Pertamax dan Pertalite harus dapat dijaga harganya sampai akhir 2022.
“Ini mengancam serius sekali kepada stabilitas bahan pokok dan pemulihan ekonomi sepanjang 2022,” ujar Bhima.
Lebih lanjut, Bhima mengatakan Indonesia dapat melihat celah bahwa dari konflik ini pemerintah harus melakukan intervensi dengan mengajak negara yang sedang konflik untuk duduk bersama di G20 membahas resolusi konflik.
“Indonesia bisa jadi penengah karena tidak memiliki kepentingan langsung terhadap konflik. Kalau itu bisa dilakukan, presidensi G20 Indonesia akan dianggap sukses,” harap Bhima.
Selain itu, dalam jangka pendek pemerintah juga dapat menarik investasi dari negara konflik ke Indonesia. Contohnya seperti relokasi pabrik besi, baja, elektronik, dan otomotif yang ada di negara konflik. Pemerintah dapat menyiapkan insentif khusus untuk mengambil alih tersebut.