Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom menilai niat pemerintah memutuskan untuk memberikan subsidi guna menjamin harga minyak goreng terjangkau bagi masyarakat berpotensi tidak tepat sasaran.
Pemerintah menyiapkan anggaran Rp3,6 triliun untuk penyediaan 1,2 miliar liter minyak goreng selama 6 bulan. Minyak goreng pun ditetapkan sebesar Rp14.000 per liter di tingkat konsumen.
Direktur Eksekutif Center of Law and Economic Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyampaikan bahwa keputusan pemerintah untuk memberikan subsidi minyak goreng patut diapresiasi, namun solusi ini lebih sifatnya temporer.
Dia menilai, meski subsidi yang diberikan lebih baik di minyak goreng kemasan daripada minyak goreng curah, tapi ada kekhawatiran penyaluran subsidi tidak tepat sasaran.
“Rumah tangga kelas atas bisa membeli harga minyak goreng kemasan murah, ini artinya terjadi migrasi dari kemasan yang mahal ke kemasan yang lebih rendah harganya,” katanya kepada Bisnis, Rabu (5/1/2022).
Di samping itu, Bhima mengatakan substitusi ini juga berisiko jika dimanfaatkan oleh pelaku usaha makanan minuman skala besar untuk membeli minyak goreng subsidi.
Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan kelompok konsumen menengah ke bawah agar mendapatkan hak minyak goreng dengan harga subsidi.
“Selain pengawasan, belum dipastikan juga apakah subsidi ini berlaku sampai akhir tahun, mengingat kemampuan BPDP KS [Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit] juga terbatas,” jelasnya.
Bhima mengatakan, sejauh ini, permasalahan utama yang menyebabkan mahalnya harga minyak goreng ada di hulu, yaitu bahan baku CPO yang meningkat signifikan dalam setahun terakhir.
Karenanya, imbuh dia, solusi kebijakan DMO (Domestic Market Obligation) CPO jauh lebih tepat dibandingkan subsidi minyak goreng di hilir.
“Dengan DMO, ada kepastian pasokan dan harga bagi produsen minyak goreng, khususnya perusahaan yang tidak terintegrasi dengan perkebunan sawit,” kata Bhima.