Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa Indonesia perlu mewaspadai risiko inflasi global dan menjadikannya acuan dalam menentukan RAPBN 2023.
Hal tersebut disampaikan oleh Sri Mulyani dalam konferensi pers terkait hasil sidang kabinet paripurna pada Rabu (16/2/2022) di Istana Negara, Jakarta. Sidang itu di antaranya membahas penyusunan rancangan anggaran tahun depan.
Menurut Sri Mulyani, Indonesia beradaptasi dengan kondisi domestik yang menunjukkan tren pemulihan. Naiknya konsumsi masyarakat memicu pertumbuhan ekonomi pada tahun ini.
Di sisi lain, Sri Mulyani pun mengingatkan dalam sidang kabinet itu bahwa terdapat dinamika lain dalam kondisi global, yang menurutnya merupakan lingkungan baru. Terjadi lonjakan inflasi di berbagai negara sebagai imbas dari pulihnya perekonomian.
"Lonjakan inflasi dunia, terutama di negara-negara maju. Seperti diketahui Amerika Serikat mencapai 7,5 persen inflasinya pada Februari ini," ujar Sri Mulyani pada Rabu (16/2/2022).
Menurutnya, lonjakan inflasi secara global, terutama di negara-negara maju akan mendorong kenaikan suku bunga dan pengetatan likuiditas. Hal tersebut akan memberikan dampak rambatan atau spillover sehingga pemerintah perlu mewaspadainya.
Baca Juga
Dia menilai bahwa arus modal (capital flow) akan mengalami pengaruh negatif dari kenaikan suku bunga. Tekanan di sisi imbal hasil (yield) surat berharga akan mendorong biaya surat utang negara.
Risiko 'lingkungan baru' pun menurutnya terjadi di negara-negara berkembang karena inflasinya yang juga sudah meningkat. Argentina mencatatkan inflasimencapai 50 persen, Turki 48 persen, Brazil 10,4 persen, Rusia 8,7 persen, dan Meksiko 7,1 persen.
"Kenaikan inflasi yang tinggi tentu akan bisa mengancam proses pemulihan ekonomi karena daya beli masyarakat tentu akan tergerus. Ini yang akan diwaspadai," ujar Sri Mulyani usai menjelaskan hal tersebut kepada Presiden Joko Widodo.