Bisnis.com, JAKARTA - Pasokan aluminium dunia bakal menipis karena pengetatan produksi oleh sejumlah negara produsen yang diawali krisis energi. Dampak pengetatan produksi dan lonjakan harga itu akan merembet pula ke industri kemasan sebagai salah satu pengguna produk hilir berupa aluminium foil.
Direktur Eksekutif Federasi Kemasan Indonesia Henky Wibawa mengatakan pelaku usaha telah memiliki alternatif bahan lain untuk menggantikan aluminium foil meski tidak semua kebutuhan dapat disubstitusi. Salah satunya yakni plastic rolled metalize yang berbahan plastik dengan ketahanan yang mirip dengan aluminium foil.
"Aluminium foil ada penggantinya, tetapi tetap masih ada kebutuhan aluminium foil, misalnya untuk kemasan obat, karena obat tidak boleh rusak dan sebagainya," kata Henky kepada Bisnis, Rabu (16/2/2022).
Menilik data London Metal Exchange, harga komoditas aluminium terus mengalami kenaikan sejak Januari 2020 di angka US$1.722 per ton menjadi US$3.238 per ton pada Februari 2022. Grafik harga sempat mengalami penurunan pada Oktober 2021 pada angka US$2.625 per ton sebelum kembali merangkak naik.
Sejumlah produsen dunia memangkas produksi. Sebut saja penghasil aluminium terbesar Eropa, Aluminium Dunkerque Industries France yang belum lama ini memotong 3 persen dari total kapasitas produksinya karena biaya energi yang tinggi. Dilansir Bloomberg, Goldman Sachs Group Inc. memprediksi aluminium akan mencapai harga rekor $4.000 per ton dalam 12 bulan ke depan karena keterbatasan pasokan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Mengenai kenaikan harga tersebut, Henky mengakui sempat terjadi lonjakan pada aluminium foil. Namun menurutnya, harganya saat ini sudah lebih baik dibandingkan kuartal III/2021.
Baca Juga
Pada industri kemasan, kenaikan harga aluminium foil hanya berdampak terbatas mengingat persentasenya yang kecil terhadap total produksi kemasan. Tahun lalu saja, kemasan fleksibel hanya menyumbang 4-5 persen dari realisasi nilai produksi yang berkisar Rp102 triliun hingga Rp105 triliun.
Sisanya, 18 persen plastik kaku, 28 persen kemasan kertas dan karton, dan lainnya terdiri atas gelas, metal, dan sebagainya.
Menurut Henky ke depan industri kemasan akan banyak mengeksplorasi bahan-bahan yang lebih ramah lingkungan seiring tren perkembangan dunia ke arah ekonomi berkelanjutan. Selain itu, dilihat dari biaya, aluminium foil termasuk yang paling tinggi harganya dibandingkan bahan kemasan jenis lain.
"Aluminium foil itu bagus, tetapi dari segi cost tinggi. Bandingkan saja berat jenisnya, tiga kali lipat polypropylene. Sudah kami kembangkan metalize, tetapi [kemasan] obat masih pakai aluminium foil," jelasnya.
Sebelumnya, Produksi industri kemasan lokal diproyeksikan hanya akan tumbuh 5 persen pada tahun ini, masih di bawah angka pertumbuhan organik 6 persen.
Dengan proyeksi pertumbuhan 5 persen, nilai produksinya berkisar Rp107,1 triliun hingga Rp110,2 triliun. Adapun, realisasi pada tahun lalu diperkirakan tumbuh sekitar 3 persen hingga 4 persen, tertekan pembatasan karena pandemi dan melonjaknya harga bahan baku.