Bisnis.com, JAKARTA — Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) mengkhawatirkan kenaikan harga batu bara bakal ikut menggerek tarif dasar listrik atau TDL untuk manufaktur pada tahun ini.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan hal itu bakal menggerus daya saing produk ekspor tekstil dalam negeri.
Redma beralasan belakangan industri mesti membeli batu bara sesuai dengan harga pasar di tingkat internasional. Sementara, harga batu bara tengah mengalami peningkatan signifikan akibat krisis Rusia-Ukraina pada awal tahun ini.
“Yang menjadi masalah ini listrik, kalau listrik ini naik daya saing kita akan hilang padahal kita punya sumber energi tetapi malah dikasih harga sesuai pasar,” kata Redma, Selasa (15/2/2022).
Redma mengatakan tarif listrik menyumbang sekitar 25 persen dari keseluruhan biaya produksi TPT. Kenaikan TDL itu bakal mengungkit ongkos produksi yang belakangan berdampak pada harga barang di tingkat konsumen.
“Harapan kita sih PLN untuk batu bara itu disuplai kalau komitmennya memang tidak lagi ekspor komoditas, berarti PLN batu baranya disuplai bukan dengan harga market tetapi keekonomian,” kata dia.
Bursa ICE Newcastle mencatat batu bara kontrak Februari mengalami penguatan 5,90 poin menjadi US$245 per metrik ton pada Minggu (13/2/2022). Pada perdagangan sebelumnya, emas hitam masih dihargai US$239,10 per metrik ton.
Sementara itu, batu bara untuk kontrak Maret turut menguat 5,25 poin pada level US$220 per ton. Angka ini meningkat dari perdagangan sebelumnya US$214,75 per ton.
Kemudian pada kontrak April, batu bara berada di level US$195,10 per ton, meningkat 5,25 poin dari harga sebelumnya US$190,85 per ton. Adapun kenaikan harga tahun ini terjadi di tengah meningkatnya kebutuhan batu bara untuk pembangkit di pasar global.