Lemahnya penguasaan teknologi di dalam negeri kerap menjadi salah satu alasan belum dilakukannya pengolahan sumber daya alam. Kekayaan sumber daya alam yang melimpah terlalu dominan dieksploitasi, kemudian diekspor dalam bentuk bahan mentah.
Faktanya, bahan mentah tersebut diperlukan pelaku industri dalam negeri untuk dijadikan bahan baku atau bahan penolong dalam usahanya.
Akibatnya bahan baku atau bahan penolong tersebut harus diimpor. Nilai tambah bahan mentah menjadi bahan baku atau bahan penolong menjadi milik negara yang mampu mengolahnya dengan penguasaan teknologi mereka. Persoalan ini tidak terlepas dari kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang).
Dalam kaidah litbang dibutuhkan tiga tahap untuk menguji sebuah riset dikatakan terbukti (proven) sebagaimana dalam technology readiness level (TRL), yaitu riset dasar, riset terapan, dan riset pengembangan.
Hasil riset yang proven perlu dilakukan diseminasi dan komersialisasi agar dapat dimanfaatkan oleh industri atau masyarakat. Adapun untuk komersialisasi diperlukan manufacturing readiness level (MRL) sebagai tools untuk mengukur kesiapan maturitas manufaktur dalam memproduksi hasil riset tersebut.
Sisi positifnya, upaya penguasaan teknologi melalui litbang ini dapat dilakukan secara mandiri dengan sumber daya yang dimiliki. Namun, penyediaan dan kontinuitas anggaran yang memadai untuk melakukannya serta seberapa cepat litbang tersebut dapat dicapai dengan sumber daya yang dimiliki menjadi masalah. Tentunya ini menjadi pertimbangan tersendiri ketika litbang menjadi pilihan dalam penguasaan teknologi.
Seiring dengan era industri 4.0, keterbukaan informasi, pola integrasi dan konektivitas antar sistem menuntut kecepatan dalam pemenuhan kebutuhan maupun proses produksi barang dan jasa. Hal ini menjadi momentum bagi Indonesia untuk dapat mengikuti perkembangan global. Kebutuhan teknologi industri 4.0 menjadi sangat mendesak agar Indonesia tidak tertinggal dengan negara lain dan memperoleh manfaat ekonomi dari momentum tersebut.
Sayangnya teknologi industri 4.0 belum sepenuhnya dikuasai di dalam negeri. Masih sebagian kecil dari teknologi industri 4.0 yang dapat disediakan para penyedia dalam negeri. Ada alternatif solusi agar kita tidak kehilangan manfaat dari momentum ini yaitu dengan turnkey project atau proyek putar kunci. Alhasil, teknologi dapat dibeli, baik sebagian maupun secara utuh dan dalam kondisi siap digunakan.
Harapannya teknologi industri 4.0 dapat segera diterapkan di Tanah Air dan manfaatnya berkontrusi besar bagi perekonomian nasional, sehingga Indonesia dapat mengikuti dan sejajar dengan negara-negara maju lainnya.
Sejalan dengan semangat untuk mengurangi ketergantungan impor bahan baku, bahan penolong, dan melengkapi struktur pohon industri, penguasaan teknologi melalui turnkey project dapat menjadi salah satu bagian untuk memenuhi berbagai kebutuhan tersebut tetapi bahan mentahnya tersedia di dalam negeri.
Tingkat komponen dalam negeri suatu produk juga dapat bertambah dengan ketersediaan bahan baku, bahan penolong, maupun komponen yang dapat diproduksi di dalam negeri. Cukup banyak komoditas bahan baku dan bahan penolong yang pemenuhannya masih tergantung dari impor. Misalnya saja garam industri yang masih perlu diimpor 2—3 juta setiap tahun.
Persoalannya, garam lokal masih belum sepenuhnya memenuhi kandungan natrium klorida sebesar 97% atau lebih. Riset dasar dan terapan garam industri telah selesai dilaksanakan dan menunjukkan kemampuan untuk menghasilkan garam industri dengan kandungan natrium klorida sebesar 97% atau lebih.
Namun, pada tahap riset pengembangan belum terlihat hasil yang signifikan. Alhasil, tahapan komersialisasi atau industrialisasi belum dapat dilakukan. Turnkey project dapat menjadi pilihan untuk mempercepat penguasaan teknologi garam industri agar domestik mampu memenuhinya. Kita bisa belajar dari pengalaman Indonesia dalam mencapai swasembada pangan.
Pemerintah melakukan modernisasi sektor pertanian, mulai intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian, rehabilitasi dan diversifikasi pertanian, penyediaan bibit unggul, pupuk kimia, dan pestisida. Upaya pemenuhan pupuk dilakukan dengan membangun pabrik pupuk di beberapa wilayah seperti PT Pupuk Sriwidjaja Palembang, PT Petrokimia Gresik, dan PT Pupuk Kalimantan Timur.
Pembangunan pabrik tersebut dilaksanakan dengan skema turnkey project. Begitu proyek selesai maka dilakukan alih teknologi kepada sumber daya manusia (SDM) dalam negeriu untuk kelanjutan operasi dan pengelolaan, yang kemudian dinaungi oleh PT Rekayasa Industri.
Masih banyak kebutuhan teknologi industri untuk memenuhi pelaksanaan program substitusi impor guna memperkuat pendalaman struktur industri, kemandirian bahan baku dan produksi, serta mengoptimalkan peningkatan penggunaan produk dalam negeri.
Perlu identifikasi kebutuhan, besar dan volume importasi, kemampuan dalam negeri, serta peluang teknologi luar agar skema turnkey project tepat sasaran. Peraturan Presiden No. 118 Tahun 2020 tentang Pengadaan Teknologi Industri Melalui Proyek Putar Kunci dapat dipakai sebagai landasan pelaksanaan.
Manfaatkan momentum presidensi G-20 untuk membuka pintu turnkey project sejalan dengan semangat recover together, recover stonger.