Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah perusahaan menyambut baik rencana pemerintah untuk melarang ekspor bijih bauksit mulai 2023.
Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA) Djoko Widajatno mengatakan rencana pemerintah terhadap penghentian ekspor bauksit disambut oleh sejumlah perusahaan dengan membangun industri smelter bauksit.
PT Adaro Energy Tbk. telah meresmikan pabrik smelter alumina pada Desember 2021. Proyek tersebut dijalankan oleh anak usahanya PT Adaro Aluminium Indonesia.
Perusahaan itu juga telah meneken surat pernyataan maksud investasi (letter of intention to invest) sebesar US$728 juta atau setara Rp10,41 triliun (kurs Rp14.300 per dolar).
Upaya yang sama juga diikuti oleh sejumlah smelter bauksit lainnya. Beberapa diantaranya PT Well Harvest Winning AR, PT Indonesia Chemical Alumina, PT Bintan Alumina Indonesia serta smelter milik Inalum dan PT Antam Tbk.
“Kalau jadi mungkin produksi [bauksit] kita sementara ini terserap oleh smelter baru ditambah smelter yang sudah jalan. Pada intinya kalau diolah di dalam negeri kita akan dapat nilai tambah dari bijih bauksit menjadi alumina,” katanya kepada Bisnis, Minggu (13/2/2022).
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat bahwa cadangan bauksit Indonesia sekitar 4 persen atau 1,2 miliar ton dari total cadangan global yakni 30,3 miliar ton.
Angka ini sudah cukup menempatkan Indonesia sebagai negara dengan cadangan bauksit terbesar keenam di dunia. Negara lainnya adalah Guinea 24 persen, Australia 20 persen, Vietnam 12 persen, Brazil 9 persen, dan Jamaica 7 persen.
Cadangan bauksit di dalam negeri juga diperkirakan akan habis sekitar 92 tahun ke depan dengan mempertimbangkan tidak ada penambahan smelter baru sejak 2020.
Pada 2019, produksi bijih bauksit di Indonesia sebesar 19 juta ton. 16,1 juta ton diekspor sedangkan bauksit untuk dalam negeri mencapai 2,9 juta ton. Kemudian 2,9 juta ton bauksit diolah hingga memproduksi 1,1 juta ton alumina.
Hasil ini diekspor ke pasar global 1,08 juta ton serta untuk kebutuhan dalam negeri hanya 46.000 ton. Indonesia kemudian harus mengimpor kembali alumina sekitar 458.000 ton untuk memproduksi 250.000 ton aluminium.
Di lain pihak, kebutuhan aluminium dalam negeri tembus 1 juta ton. Artinya industri harus kembali mengimpor aluminium sekitar 748.000 ton.
Djoko menilai sejatinya industri bisa melakukan peningkatan serapan, tetapi belum percaya diri. Alhasil seluruh program pemerintah berjalan setengah hati.
“Jadi kita setengah hati, di satu sisi perindustrian belum berhasil menarik investasi, secara keseluruhan hasil penghiliran entah batu bara atau mineral menunggu off taker yang menunggu hasilnya.” ujarnya.