Bisnis.com, JAKARTA – Pemanfaatan perjanjian dagang untuk impor yang lebih besar dibandingkan untuk ekspor dinilai wajar oleh ekonom. Hal ini tak lepas dari struktur ekspor dan impor RI yang tak selalu saling melengkapi dengan mitra dagang.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal mengatakan pemanfaatan pembebasan tarif dalam perjanjian dagang untuk ekspor merupakan hal yang lumrah, mengingat pasar Indonesia cenderung lebih besar daripada mayoritas mitranya. Di samping itu, besaran tarif yang harus dibebaskan oleh Indonesia, lebih tinggi dari negara-negara maju.
"Dari tarif impor, kita lebih tinggi dibandingkan dengan, contohnya Australia dan Korea Selatan, karena negara-negara dengan pasar yang besar memang menerapkan tarif yang tinggi. Akibatnya yang dibebaskan juga lebih besar," kata Faisal, Minggu (13/2/2022).
Kehadiran perjanjian dagang juga tidak secara otomatis membuat penetrasi pasar untuk ekspor menjadi lebih mulus. Dalam banyak kasus, mitra dagang RI menerapkan hambatan nontarif yang membutuhkan penyesuaian lebih lama dari pelaku usaha.
"Dari sisi kesiapan, seringkali pelaku bisnis mitra lebih siap daripada di Indonesia untuk memasuki pasar. Wajar jika saat efektif produk mereka lebih cepat masuk, dari sisi compliance berbeda penyesuaiannya," kata dia.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan Indonesia memerlukan strategi yang tepat sebelum benar-benar menerapkan perjanjian dagang dengan negara mitra. Hal ini, berlaku juga untuk kalkulasi soal potensi penetrasi produk Indonesia yang sesuai dengan kebutuhan negara tujuan.
Baca Juga
Oleh karena itu, dia berpendapat skema prefferential tariff agreement atau PTA menjadi bentuk perjanjian dagang yang ideal.
"Lewat PTA bisa diatur mana saja yang bebas tarif atau pada produk tertentu yang sama-sama dibutuhkan kedua negara," kata dia.