Bisnis.com, JAKARTA – Kebijakan pemerintah menaikkan ketentuan ekspor kWh listrik dari 65 persen menjadi 100 persen diperkirakan dapat menumbuhkan permintaan pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap, terutama di segmen pelanggan rumah tangga dan industri kecil.
Managing Director Ananta Energy Michael Na mengatakan kendati penerbitan kebijakan ini terbilang lamban, tetapi dia mengapresiasi upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam mendorong masyarakat menuju ke energi hijau.
Lewat insentif kebijakan baru ini, pelaku usaha juga semakin optimistis dalam meningkatkan penjualan PLTS Atap pada 2022. Terlebih, saat ini Ananta memang tengah berfokus untuk mengejar pasar di Jawa Tengah dengan fokus segmen small to medium yang dimulai dari pemasangan di rumah-rumah pelanggan dan perusahaan menengah.
“Kalau sudah bisa [ekspor] 100 persen. Ini wonderful news. Nggak ada yang lebih baik dari itu. Sempurna karena ini bisa mendorong penjualan lebih banyak. Jadi memang dari sisi pemerintah sudah banyak membantu pelaku usaha. Apalagi tekanan dari luar negeri untuk peralihan ke energi hijau juga semakin tinggi,” ujarnya, Sabtu (5/2/2022).
Sebagai informasi, dalam Permen ESDM No.49/2018 sebelumnya diatur bahwa energi listrik pelanggan PLTS atap yang diekspor dihitung berdasarkan nilai kWh ekspor yang tercatat pada meter kWh ekspor-impor dikali 65 persen. Adapun kWh ekspor adalah jumlah energi listrik yang disalurkan dari sistem instalasi pelanggan PLTS Atap ke sistem jaringan PLN yang tercatat pada meter kWh ekspor-impor.
Menurut pemerintah, pemberlakuan angka 65 persen yang berlaku saat ini belum dianggap menarik oleh pelanggan. Hal itu tercermin dari rendahnya jumlah pelanggan yang memasang PLTS atap selama 3,5 tahun terakhir yakni baru 35 mega watt (MW)
Baca Juga
Ekspor listrik ini akan digunakan untuk perhitungan energi listrik pelanggan PLTS atap dan bisa mengurangi tagihan listrik pelanggan setiap bulannya. Perhitungan energi listrik pelanggan PLTS atap dilakukan setiap bulan berdasarkan selisih antara nilai kWh impor dengan nilai kWh ekspor.
Adapun kWh impor adalah jumlah energi listrik yang diterima oleh sistem instalasi Pelanggan PLTS atap dari sistem jaringan PLN yang tercatat pada meter kWh ekspor-impor.
Apabila jumlah energi listrik yang diekspor lebih besar dari jumlah energi listrik yang diimpor pada bulan berjalan, maka selisih lebih akan diakumulasikan dan diperhitungkan sebagai pengurang tagihan listrik bulan berikutnya.
Kabar baiknya, Kementerian ESDM resmi menerbitkan aturan baru terkait pembangkit listrik tenaga surya atap (PLTS atap). Aturan baru ini tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM No.26/2021 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap yang Terhubung Pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (IUPTLU).
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusniada mengatakan regulasi baru ini merupakan penyempurnaan dari peraturan sebelumnya guna memperbaiki tata kelola dan keekonomian PLTS Atap.
Peraturan ini juga terbit untuk merespons dinamika yang ada dan memfasilitasi keinginan masyarakat untuk mendapatkan listrik dari sumber energi terbarukan, termasuk mengakomodasi masyarakat yang ingin berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca.