Bisnis.com, JAKARTA – Penyederhanaan izin properti dari skema Izin Mendirikan Bangunan (IMB) menjadi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) belum dilaksanakan di daerah. Ketiadaan peraturan daerah yang menaungi peralihan itu bisa membuat produksi unit rumah terhambat.
Kabar tentang potensi pembengkakan backlog karena tak ada aturan PBG di tingkat daerah menjadi salah satu berita pilihan editor Bisnisindonesia.id. Beragam kabar ekonomi dan bisnis lainnya yang dikemas secara mendalam dan analitik juga tersaji di meja redaksi Bisnisindonesia.id.
Berikut ini intisari setiap berita pilihan:
Inflasi untuk pertama kalinya selama pandemi Covid-19 berada dalam rentang target Bank Indonesia dan mendekatkan pada kemungkinan normalisasi kebijakan moneter lebih lanjut.
Berdasarkan data BPS, inflasi Januari secara tahunan mencapai 2,18 persen setelah selama 19 bulan terakhir selalu di bawah 2 persen, berada dalam tren disinflasi akibat pelemahan permintaan selama pandemi. Di sisi lain, BI menargetkan inflasi di kisaran 2 hingga 4 persen untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
Perkembangan ini meninggalkan pertanyaan apakah bank sentral akan mempercepat normalisasi moneter.
Pemerintah pusat menetapkan pergantian perizinan pembangunan properti sejak setahun lalu, 2 Februari 2021, dari Izin Mendirikan Bangunan (IMB) menjadi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).
Hal itu sejalan dengan berbagai penyederhanaan proses perizinan sebagaimana semangat yang terkandung dalam Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK).
Namun sayangnya, semangat penyederhanaan yang menjadi latar belakang pemerintah pusat mengeluarkan perubahan tersebut tidak sepenuhnya diikuti oleh pemerintah-pemerintah daerah. Kenyataannya, masih sangat sedikit pemda yang mengeluarkan peraturan daerah (perda) untuk menunjang pelaksanaan PBG tersebut di wilayahnya.
Kondisi itu menyulitkan kalangan pengembang yang hendak merealisasikan target pembangunan termasuk dalam upaya membantu pelaksanaan Program Sejuta Rumah yang dicanangkan pemerintah.
Simpanan jumbo dengan nilai lebih dari Rp5 miliar terus mengembang dalam dua tahun terakhir selama pandemi.
Data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada Desember 2021 merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan realisasi pada Desember 2017. Secara tahunan, total simpanan mencapai Rp7.546 triliun atau naik 12 persen. Adapun, pada 2020, pertumbuhan simpanan total menyentuh 10,9 persen ke Rp6.737 triliun.
Lebih lanjut, dari potret data realisasi pada Desember 2021, kelompok simpanan lebih dari Rp5 miliar mulai tumbuh tinggi secara enam bulanan. Pada periode tersebut, simpanan bernilai jumbo tumbuh 10,2 persen. Lalu, secara tahun berjalan dan tahunan, tumbuh 19,9 persen sedangkan secara tiga tahunan, pertumbuhannya melonjak sebesar 45,8 persen.
Pertumbuhan semacam itu tak ditemukan pada kelompok simpanan lainnya. Terpaut cukup jauh, simpanan dengan nilai Rp100 juta hingga Rp200 juta menyusul dengan pertumbuhan tahunan 6,9 persen dan pertumbuhan tiga tahunan 22,4 persen. Sementara itu, pertumbuhan paling buncit terealisasi pada kelompok simpanan kurang dari Rp100 juta yakni 3,9 persen dan perubahan tiga tahunan sebesar 18,4 persen.
Karyawan melayani nasabag di kantor cabang PT Bank Bisnis Internasional Tbk. (BBSI) di Jakarta, Jumat (28/1/2022). Bisnis/Suselo Jati
Sektor manufaktur berekspansi pada kecepatan tertinggi pada awal 2022 seiring laju kenaikan permintaan yang kuat. Akan tetapi, masalah pasokan bahan baku masih membelit tengah optimisme penyebaran galur Omicron akan tertanggulangi.
IHS Markit Indonesia Manufacturing Purchasing Managers' Index (PMI) mencatat 53,7 pada Januari, naik dari 53,5 pada Desember 2021. Ini menunjukkan perbaikan kondisi bisnis selama lima bulan berturut-turut di seluruh sektor manufaktur Indonesia, dengan tingkat peningkatan terkuat sejak November lalu.
Namun, biaya input terus meningkat dengan kecepatan tinggi, meskipun laju inflasi mereda dari puncak Desember baru-baru ini. Produsen Indonesia menunjukkan bahwa biaya bahan baku dan transportasi yang lebih tinggi menyebabkan kenaikan harga input.
Perubahan iklim dan konsumsi bahan bakar minyak atau BBM menjadi isu lawas yang makin kuat didengungkan pada periode-periode tertentu. Kerap disangkutkan dengan urusan politik, konsumsi BBM berlebih yang terutama didorong oleh subsidi, sebenarnya menjadi penyebab utama perubahan iklim.
Berdasarkan data dari Pusdatin ESDM (2011) yang dikutip dari Pedoman Teknis Perhitungan Baseline Emisi Gas Rumah Kaca Sektor Berbasis Energi yang diterbitkan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 2014, total konsumsi energi nasional pada 2000 sebesar 468 juta setara barel minyak (sbm), naik secara tajam menjadi 793 juta sbm pada 2010.
Kenaikan konsumsi energi tersebut mengakibatkan peningkatan emisi gas rumah kaca, dengan emisi CO2 pada 2000 yang mencapai 244,31 juta ton meningkat menjadi 379,47 juta ton pada 2010.
Peningkatan emisi tersebut terjadi bukan hanya dari sektor pembangkit listrik, melainkan juga dari sektor industri dan transportasi. Pemerintah sebenarnya terus berupaya mengurangi subsidi BBM, apalagi kebijakan ini dalam implementasinya sering tidak tepat sasaran. Bukannya meringankan beban masyarakat yang layak disubsidi, justru dinikmati oleh orang kaya.