Bisnis.com, JAKARTA - PM China Li Keqiang pernah berkata bahwa pihaknya mendorong produsen besi, baja, semen, dan pelat China agar kompetitif. Produsen China juga mengalihkan operasi mereka ke negara-negara ASEAN untuk memenuhi kebutuhan pembangunan lokal melalui investasi, leasing dan pinjaman, pinjaman sehingga mencapai keuntungan bersama
Li Keqiang benar. China melakukan ekspansi industri melalui skema Belt and Road Initiative (BRI) secara masif. Uni Eropa (UE) berang dan melabel strategi itu sebagai upaya pengalihan kelebihan kapasitas domestik dengan memberikan subsidi transnasional. UE berpandangan subsidi itu sebagai praktik ilegal yang dilarang oleh WTO-Subsidy and Countervailing Measures Agreement (SCMA).
Subsidi transnasional adalah subsidi lintas batas negara. Ditafsirkan UE sebagai bantuan pembiayaan dari pemerintah kepada industri yang melakukan ekspansi ke negara ketiga. Definisi ini diperluas mencakup kerja sama G2G dalam pembangunan kawasan industri di negara tujuan investasi.
UE meyakini ini adalah solusi permasalahan over capacity China yang diwujudkan dalam bentuk fasilitasi kepada perusahaan asal negara itu yang berminat untuk relokasi.
Fasilitas tidak hanya terbatas pada infrastruktur tetapi juga permodalan. Lembaga keuangan China diwajibkan menyalurkan berbagai pembiayaan dalam bentuk loans, export guarantees dan export insurance ke perusahaan yang melakukan relokasi. Pada 2019 UE menginisiasi penyelidikan anti-subsidi untuk impor produk fiber glass fabrics asal Mesir dan China.
Produk ini dihasilkan oleh perusahaan China yang berinvestasi di kawasan industri di Mesir sekaligus buah dari BRI. Penyelidikan tersebut berakhir dengan pengenaan bea masuk imbalan sebesar 17 persen—30,7 persen dan 10,9 persen.
Baca Juga
Pada tahun yang sama UE juga melakukan penyelidikan anti-subsidi terhadap impor stainless steel hot-rolled flat products dan stainless steel cold-rolled flat products asal Indonesia dan China. Penyelidikan produk pertama dihentikan tetapi untuk produk kedua masih berlangsung.
Pada Juni 2020, UE menerbitkan payung hukum penguatan penyelidikan subsidi transnasional. Instrumen subsidi awalnya digunakan oleh negara maju untuk mendorong pertumbuhan sektor pertanian dan manufaktur.
Namun beberapa negara menyadari bahwa instrumen ini lebih banyak digunakan untuk memperkuat daya saing ekspor dan merebut pangsa pasar dunia. Oleh karena itu, dunia berunding untuk mendisiplinkan instrumen subsidi ini dan menghasilkan Perjanjian SCMA pada perundingan Putaran Uruguay.
SCMA mendefinisikan subsidi yang terhadapnya dapat dilakukan penyelidikan sebagai bantuan keuangan yang diberikan oleh pemerintah/badan publik, memberikan manfaat, dan bersifat spesifik.
SCMA juga menetapkan jenis subsidi yang dilarang dalam tata perdagangan internasional. Subsidi ini didefinisikan sebagai kontribusi finansial yang diberikan oleh pemerintah/badan publik untuk meningkatkan kinerja ekspor dan tujuan substitusi impor.
Dua kategori subsidi ini ilegal karena secara langsung memengaruhi perdagangan dan merugikan kepentingan negara mitra. Adapun lanskap perdagangan internasional terus berubah dinamis. Kebijakan subsidi tidak lagi menjadi ranah domestik, karena telah diwarnai isu rantai pasok global, overcapacity dan investasi lintas batas negara.
Semakin banyak ditemukan praktik subsidi yang bernuansa lintas negara. Misalnya insentif pembiayaan kredit dalam bentuk fasilitasi export buyer insurance dan export buyer credit. Perubahan ini menuntut penyempurnaan ketentuan perjanjian SCMA.
Modal asing (PMA) merupakan komponen penting dalam pembiayaan pembangunan. Namun, karena pengguliran isu subsidi transnasional ini terkait dengan investasi China di Tanah Air maka pemerintah perlu mewaspadai reaksi UE terhadap produk impor yang dihasilkan oleh produsen yang berafiliasi ke Negeri Tirai Bambu.
Produsen tersebut pada umumnya berorientasi ekspor dengan modal, pembiayaan operasional, dan tenaga kerja dipasok langsung dari China. Untuk mencegah pengenaan bea masuk yang berdampak pada turunnya daya saing produk ekspor Indonesia ke UE, pemerintah perlu berargumentasi untuk sejumlah isu.
Pertama, artikel 1 SCMA tidak mengatur pembatasan lokasi perusahaan penerima subsidi. Subsidi transnasional dapat dipermasalahkan apabila dikategorikan ke dalam jenis subsidi terlarang sebagaimana diatur Artikel 3 SCMA.
Artikel 2 SCMA mengindikasikan bahwa subsidi yang memberi manfaat kepada penerima di luar wilayah teritorial tidak dapat disebut sebagai subsidi yang bersifat spesifik kecuali ia masuk ke dalam jenis subsidi yang dilarang.
Kedua, subsidi masih diperlukan oleh negara berkembang. Pembukaan WTO Agreement (1994) jelas mengamanatkan tujuan pendiriannya yaitu meningkatkan standar hidup dan pertumbuhan ekonomi anggota. Tujuan ini tertuang dalam SCMA dan hanya diberlakukan untuk anggota WTO yang merupakan negara berkembang.
Ketiga, mengupayakan agar skema BRI dikenakan eksklusi dari disiplin SCMA dengan memanfaatkan pasal-pasal fleksibilitas negara berkembang. Lokasi perusahaan penerima yang berada di luar China dan status negara berkembang adalah contoh argumentasi yang dapat dikembangkan.