Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Siap-Siap! Inflasi Asia Pasifik Berpotensi 'Memanas' Tahun Ini

Sejumlah negara berpotensi mencatatkan kenaikan inflasi yang signifikan, dengan pandemi Covid-19 yang menjadi motor utama.
Monitor menampilkan nama Moody's Corp./ Bloomberg - Michael Nagle
Monitor menampilkan nama Moody's Corp./ Bloomberg - Michael Nagle

Bisnis.com, JAKARTA — Moody's Analytics menilai bahwa negara-negara di Asia perlu mengawasi potensi kenaikan inflasi pada tahun ini, seiring dinamika pemulihan ekonomi global dan Covid-19 varian omicron yang masih menyebar. Indonesia turut harus mewaspadai risiko itu.

Ekonom Asia Pasifik Senior dari Moody's Analytics, Katrina Ell menilai bahwa kenaikan inflasi akan menjadi perhatian global sepanjang 2022. Menurutnya, sejumlah negara bahkan berpotensi mencatatkan kenaikan inflasi yang signifikan, dengan pandemi Covid-19 yang menjadi motor utama.

Menurutnya, bank sentral di sejumlah negara akan meningkatkan suku bunga sebagai imbas dari kenaikan permintaan yang sempat tertekan selama 2021. Dari awal pandemi Covid-19 hingga tahun lalu permintaan menurun, kemacetan transportasi dan logistik meningkatkan biaya produksi, sehingga saat pembatasan sosial melonggar permintaan langsung melonjak dan memengaruhi inflasi. 

"The Fed berada di jalur normalisasi kebijakan yang lebih agresif berkat demand-pull and supply-push inflation yang semakin cepat. Di beberapa negara di kawasan Asia-Pasifik, inflasi meningkat secara signifikan," ujar Katrina dalam riset bertajuk Inflasi Mendorong Tindakan di Asia Pasifik, dikutip Bisnis pada Jumat (21/1/2022).

Berdasarkan rekapitulasi data terbaru dari 14 negara, Moody's Analytics mencatat bahwa sembilan di antaranya mencatatkan kenaikan inflasi dari posisi April 2021. Selandia Baru (per September 2021) dan Singapura (per November 2021) mencatatkan kenaikan inflasi paling tinggi dari 12 negara lainnya.

Siap-Siap! Inflasi Asia Pasifik Berpotensi 'Memanas' Tahun Ini

Sumber: Moody's Analytics

Katrina menjelaskan bahwa Bank Sentral Selandia Baru telah menaikkan suku bunga dengan kumulatif 50 basis poin sejak September 2021 dan terdapat proyeksi kenaikan 50 basis poin lebih lanjut pada 2022. Ekonomi Selandia Baru sedang maju tanpa membutuhkan stimulus seperti saat puncak pandemi Covid-19.

Di Singapura, otoritas moneter akan memperketat kebijakan dengan menaikkan titik tengah dari rentang kebijakannya setelah inflasi utama per November 2021 mencapai 3,8 persen dan inflasi inti 1,6 persen, melebihi ekspektasi. Katrina menilai bahwa penyebaran omicron dan tingginya harga energi akan menjaga tekanan pada rantai pasok sehingga inflasinya akan tetap tinggi pada semester I/2022.

Moody's Analiytics mencatat bahwa Bank Sentral India mengambil pendekatan yang lebih hati-hati. Meskipun inflasi diperkirakan di atas tingkat kenyamanan bank sentral hingga semester I/2022, Katrina menilai bahwa kenaikan suku bunga tidak akan terjadi hingga September 2022 karena pemulihan ekonomi domestik menjadi prioritas pemerintah India.

Sementara itu, Bank Sentral China mengumumkan adanya stimulus lebih lanjut untuk menjaga stabilitas pertumbuhan di 5 persen. Bank sentral memotong suku bunga fasilitas pinjaman jangka menengah satu tahun 10 basis poin menjadi 2,85 persen, memotong tingkat pembelian kembali tujuh hari sebesar 10 basis poin menjadi 2,1 persen, dan menyuntikkan likuiditas jangka menengah senilai 200 miliar yuan ke dalam sistem keuangan.

Katrina pun menyoroti pengaruh kebijakan The Fed terhadap kondisi moneter negara-negara Asia Pasifik. Bank Sentral Negeri Paman Sam itu bersiap menaikkan suku bunga pada paruh pertama 2022 yang dapat menyebabkan hasil treasury lebih tinggi, nilai tukar dolar menguat, sehingga berpotensi menarik aliran modal dari pasar negara berkembang.

"Berdasarkan landasan informasi kami per Januari 2022, kami mengasumsikan bahwa tingkat target federal funds meningkat pada bulan Mei, Juli, September dan Desember. Implikasinya bagi negara-negara di kawasan Asia Pasifik akan sangat signifikan," tulis Katrina.

Dia pun menilai bahwa terdapat seumlah tekanan di mata uang pasar negara berkembang selama setahun terakhir, tetapi sejauh ini bertahan dengan baik meskipun terdapat percepatan normalisasi kebijakan Amerika Serikat.

Komunikasi The Fed yang relatif transparan pun mengurangi kemungkinan penyesuaian mendadak, meskipun masih ada risiko yang dapat memicu pembalikan tiba-tiba sentimen terhadap pasar negara berkembang di Asia Pasifik.

"Mungkin ada peningkatan tekanan pada beberapa ekonomi untuk mengaitkan kenaikan suku bunga kebijakan moneter lokal dengan apa yang terjadi di AS. Indonesia, India, dan Filipina menonjol karena kerentanannya yang meningkat [terhadap kebijakan Amerika Serikat]," tulis Katrina.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper