Bisnis.com, JAKARTA – Stabilitas pasokan gas untuk industri dinilai lebih penting daripada penetapan harga yang lebih murah.
Peneliti di Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengatakan perlu ada keberpihakan pemerintah pada industri-industri yang lahap penggunaan gas karena menjadi faktor krusial dalam proses produksi.
"Menurut saya yang lebih penting konsistensi pasokannya, harus ada terus. Jangan harganya US$6 tetapi kadang langka kadang ada," kata Heri saat dihubungi, Rabu (19/1/2022).
Sejauh ini harga gas bumi tertentu sebesar US$6 per MMBTU dinikmati oleh tujuh sektor industri, antara lain pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
Kementerian Perindustrian mengusulkan 10 sektor industri tambahan tetapi penerapannya masih dalam pembahasan. Sementara itu, kebijakan ini disebut-sebut memangkas penerimaan negara dari sektor hulu migas.
Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas Arief Setiawan Handoko mengatakan penerimaan negara berkurang US$1 miliar hingga US$1,2 miliar. Terkait dengan hal itu, Heri mengatakan pemerintah pasti memiliki hitung-hitungan antara pemasukan yang terpangkas dan multiplier effect yang dihasilkan.
Meski sudah ada gas industri murah, pengusaha di Jawa Timur justru mengalami hambatan dalam menyerap pasokan gas. Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Yustinus Gunawan mengatakan kekurangan kebutuhan dipenuhi dengan membeli gas di atas US$6 per MMBTU.
"Misalnya, alokasi gas bumi perusahaan A di Jatim adalah 7 MMSCFD (million standard cubic feet per day) dengan harga US$6 per MMBTU. Namun, karena ada masalah, maka realisasi pasokan hanyalah 5 MMSCFD. Sedangkan kekurangannya harus dibeli dari sumber lainnya dengan harga pasar yang jauh lebih tinggi," jelas Yustinus.