Bisnis.com, JAKARTA – Industri pengolahan berpotensi terus berkontribusi positif pada kinerja perdagangan luar negeri, termasuk menjadi penopang surplus neraca perdagangan.
Kepala Ekonom Bank Pertama Josua Pardede mengatakan kontribusi industri manufaktur pada ekspor bisa terus berlanjut, seiring dengan arah kebijakan pemerintah yang mendorong penghiliran demi meningkatkan nilai tambah ekspor.
"Contoh sukses kebijakan ini sudah terlihat dari industri nikel dan stainless steel. Penghiliran di sektor tersebut mampu secara konsisten meningkatkan nilai ekspor besi dan baja (HS 72) Indonesia dalam beberapa tahun terakhir dan berkontribusi terhadap peningkatan ekspor industri manufaktur," katanya ketika dihubungi, Senin (17/1/2022).
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor sementara besi dan baja (kode HS 72) dalam kurun Januari sampai Desember 2021 mencapai US$20,95 miliar atau naik 92,88 persen secara tahunan. Besi dan baja menjadi kontrubutor ekspor terbesar ketiga setelah batu bara dan produk minyak sawit.
Namun, Josua memberi catatan bahwa kinerja perdagangan Indonesia berpeluang tak lagi menikmati surplus sebesar 2021 lantaran ekonomi yang melanjutkan pemulihan dan normalisasi harga komoditas. Berkaca pada 2018 dan 2019, neraca perdagangan RI justru mengalami defisit.
"Dengan demikian, potensi surplus untuk semakin kecil ke depan, dan bahkan kembali ke defisit neraca perdagangan cukup besar pada tahun 2022 jika pemulihan ekonomi terus berjalan," katanya.
Baca Juga
Terpisah, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi meyakini surplus perdagangan tetap bisa dinikmati Indonesia ke depannya. Industri pengolahan berorientasi ekspor bernilai tambah akan memainkan peran penting dalam menekan defisit.
Dia mencatat 4 dari 5 produk penyumbang ekspor terbesar merupakan produk industri pengolahan yakni produk minyak sawit, besi dan baja, otomotif, dan elektronik.
"Ke depannya perlu dipastikan industri pengolahan kita tidak tergantung komoditas. Kita lihat dengan investasi-investasi dan penghiliran di pertambangan dan pertanian, ekspor RI menjadi lebih terdiversifikasi dan solid," katanya.
Sebagaimana laporan BPS, Lutfi mengatakan kenaikan impor yang cukup drastis pada Desember 2021 menjadi indikasi bahwa perekonomian nasional berada pada jalur perbaikan. Hal ini lantaran 76,51 persen impor disumbang oleh bahan baku/penolong yang menjadi faktor produksi industri manufaktur di dalam negeri.
"Lebih dari 75 persen impor merupakan bahan baku/penolong yang dipakai industri untuk berproduksi. Artinya impor bersifat produktif," kata Lutfi.
Impor Desember 2021 yang mencapai US$21,36 miliar tercatat menjadi impor bulanan terbesar dalam sejaran Indonesia. Nilai impor ini naik 10,51 persen dibandingkan dengan November 2021 dan 47,93 persen lebih tinggi daripada Desember 2020.
Kenaikan impor terbesar disumbang oleh mesin/peralatan mekanis dan bagiannya (HS 84) sebesar US$401 juta, lalu oleh produk farmasi (HS 30) sebesar US$288,6 juta, bahan bakar mineral (HS 27) US$186,3 juta, besi dan baja (HS 72) sebesar US$137,3 juta, dan pupuk naik (HS 31) naik US$118,0 juta.
Pada periode yang sama, ekspor RI tercatat terkoreksi 2,04 persen secara bulanan menjadi US$22,38 miliar. Meski demikian, ekspor industri pengolahan menjadi satu-satunya sektor yang tetap tumbuh dengan kenaikan sebesar 5,06 persen secara bulanan menjadi US$17,08 miliar.
Kenaikan ekspor terbesar terdapat pada produk minyak nabati senilai US$428,8 juta, besi dan baja senilai US$321,7 juta, dan mesin dan perlengkapan elektrik sebesar US$172,1 juta.