Bisnis.com, JAKARTA — Industri tekstil diramal akan lebih bergeliat tahun ini seiring perbaikan pasar dalam negeri, meski ada tantangan di sisi ekspor.
Sekjen Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan industri tekstil hulu sebenarnya memiliki peluang besar untuk mensubstitusi bahan baku impor untuk tujuan ekspor. Namun, bahan baku dari luar negeri memperoleh fasilitas kemudahan impor tujuan ekspor (KITE), hal yang sama tidak berlaku untuk produk dalam negeri.
"Kalau pakai barang dari dalam negeri, tetap harus bayar dulu [pajaknya], meskipun ada restrukturisasi [dari pemerintah], tetapi akan agak lama, jadi mengganggu cash flow," kata Redma kepada Bisnis, Selasa (11/1/2022).
Padahal, permintaan bahan baku lokal sedang tinggi karena negara sumber impor bahan baku seperti China sempat tersendat produksinya. Sedangkan pasokan dari negara-negara lain seperti Taiwan dan Korea Selatan terhambat mahalnya ongkos pengapalan dan kelangkaan kontainer serta kapal induk.
"Harusnya [industri] lokal bisa isi, karena ada kebijakan yang menghambat jadi kami belum bisa mengambil peluang itu," ujarnya.
Tantangan lain yang akan dihadapi industri tekstil pada tahun ini yakni kenaikan biaya energi dengan wacana peningkatan tarif dasar listrik (TDL) oleh PLN. Meski demikian, yang paling utama dipastikan yakni ketersediaan batu bara untuk PLN sehingga pasokan listrik ke industri terpenuhi untuk menjaga tingkat utilitas produksi.
Sementara itu, terkait efektivitas kebijakan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP), Redma mengakui aliran barang impor tekstil masih cukup banyak dalam bulan-bulan lalu. Merespons kondisi tersebut, Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan setuju untuk menambah beberapa negara ke dalam daftar pengenaan safeguard.
Sementara itu, safeguard garmen yang baru diteken pada akhir tahun lalu dirasakan belum berdampak signifikan.
"Makanya di kuartal empat [2021] kelihatan penurunan impornya. Di 2022 ini saya kira akan turun jauh," ujarnya.