Bisnis.com, JAKARTA — Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong (Gapuspindo) meminta pemerintah Australia untuk memasok sapi bakalan dengan harga yang layak.
Keinginan ini sejalan dengan program economic powerhouse rantai nilai pangan dalam kemitraan Indonesia Australia - Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA).
Direktur Eksekutif Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong (Gapuspindo) Joni P. Liano mengatakan harga sapi bakalan dari Australia saat ini relatif mahal untuk industri pangan dalam negeri. Joni menuturkan biaya impor sapi bakalan dari Australia sudah mencapai Rp60.000 per kilogram berat sapi hidup.
Baca Juga
“Pemerintah Australia seharusnya memberikan insentif kepada peternaknya untuk bisa memasok Indonesia dengan harga yang layak, apalagi dalam hubungan kerja sama,” kata Joni melalui sambungan telepon, Selasa (11/1/2022).
Dalam laporan tengah tahun Joint State of the Industry (JSOI) 2021 yang dirilis kemitraan, ekspor sapi bakalan Australia ke Indonesia hanya mencapai 229.500 ekor sepanjang semester I/2021. Jumlah ini turun 11 persen dibandingkan dengan periode yang sama setahun sebelumnya.
Ekspor total sapi bakalan Australia diperkirakan melanjutkan penurunan pada tahun ini, yakni di kisaran 9 persen secara tahunan dan 36 persen dibandingkan dengan 2019.
Turunnya impor ini tak lepas dari pemulihan populasi sapi Australia yang masih berlanjut dan diikuti dengan harga yang relatif masih tinggi. Laporan JSOI menunjukkan harga sapi hidup yang dikirim dari Darwin mencapai level tertinggi AU$4,30 per kilogram.
“Kalau situasi seperti ini pasokan terbatas dan juga harga tidak terjangkau pada kita akibatnya bisa terhenti bisnis ini, ini yang sedang kita komunikasikan dengan [eksportir],” kata dia.
Gapuspindo, kata dia, sudah menyampaikan keluhan pelaku usaha kepada pemerintah untuk dapat mendorong Pemerintah Australia menekan harga sapi bakalan dari Negeri Kangguru tersebut.
Harga yang tinggi membuat pelaku usaha penggemukan harus berjuang mempertahankan profitabilitas. Sebagian besar usaha feedlot beroperasi pada kapasitas sekitar 30 persen dan mengalami tekanan keuangan.
Sementara lainnya mempertahankan kapasitas sebesar 60 persen atau lebih tinggi dan melaporkan tingkat profitabilitas yang sedang dengan cara melakukan efisiensi operasional serta dengan melakukan jual beli ternak secara cermat.
Co-Chair Partnership Australia Chris Tinning memperkirakan harga sapi akan mulai membaik pada paruh kedua 2022.
“Curah hujan yang baik di Australia tahun ini membantu produsen Australia untuk meningkatkan kembali populasi sapi dan mempertahankan stok sapi mereka. Harga ekspor sapi hidup yang tinggi saat ini seharusnya bisa turun pada paruh kedua tahun 2022, dan bisa meredakan tekanan keuangan yang dialami usaha feedlot dan RPH di Australia dan Indonesia,” kata Tinning.