Menjelang pergantian tahun, dunia pertambangan batu bara dikejutkan oleh keputusan pemerintah yang melarang ekspor batu bara selama satu bulan, yaitu per 1 Januari hingga 31 Januari 2022. Hal ini kemudian dipertegas kembali oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Persoalan krisis pasokan batu bara ke PLN dan independent power producer (IPP) memang mengkhawatirkan karena menyangkut ‘nyawa’ 20 PLTU berkapasitas 10.850 MW di sistem jaringan Jawa-Bali. Bila pasokan batu bara bermasalah dan mengakibatkan berkurangnya produksi listrik, dampak langsungnya adalah pemadaman bergilir ke jutaan pelanggan dan industri di Jawa-Bali.
Imbasnya sangat luas, mulai dari masalah sosial, ekonomi dan, politik yang sangat besar. Jika terjadi, pemerintah akan dituding tidak mampu mengurus tata kelola batu bara serta menyediakan listrik yang merupakan kebutuhan vital masyarakat.
Meski keputusan pelarangan ekspor tersebut dari sisi undang-undang serta aturan turunannya mempunyai landasan hukum yang kuat, tetapi kerugian langsung berupa hilangnya potensi devisa atas penjualan batu bara keluar negeri sekitar US$3 miliar pasti terjadi.
Dampak yang terjadi pada aktivitas pertambangan sampai sebulan ke depan adalah penumpukan stok batu bara di stockpile dan stock run off mine (ROM). Total produksi per bulan secara nasional mencapai 52 juta ton dan kebutuhan untuk wajib memenuhi pasar domestik (DMO) sekitar 12 juta ton. Jadi, akan ada sisa hasil produksi yang tidak terpasarkan sekitar 40 juta ton.
Selain itu, karena pelarangan yang mendadak, produsen batu bara akan dikenakan demurrage oleh pembeli di luar negeri, karena pengapalan batal dilakukan. Nilainya bervariasi antara US$20.000 dan US$40.000 per hari per kapal. Imbas rentetannya adalah kredibilitas Indonesia sebagai pengekspor batu bara akan turun dan mengurangi minat investasi dan kepastian berusaha.
Baca Juga
Akan terjadi pula pengalihan order batu bara ke negara lain yang lebih siap untuk mengisi pasar seperti Australia, Rusia, Amerika Serikat, dan Afrika Selatan. Kondisi ini sebenarnya bisa dihindari jika saja kebijakan terkait tata kelola batu bara dapat tertangani dengan baik. Pemerintah tidak akan mengeluarkan kebijakan ekstrem ini bila produsen batu bara punya niat baik dan konsisten untuk mensuplai kebutuhan sesuai aturan DMO.
Masalah muncul ketika tidak semua pelaku usaha memenuhi kewajiban tersebut secara baik dan konsisten. Disparitas harga yang terlalu jauh menjadi salah satu penyebabnya. Harga batu bara untuk gar 4.200 misalnya, dengan menggunakan Index NEX US$180 per ton (17 Desember 2021) maka harga di pasar internasional sebesar US$94 per ton.
Di sisi lain harga ke PLN atau IPP hanya US$40 per ton, sehingga terdapat disparitas harga US$54 per ton. Semakin tinggi kalori atau gar batu bara, kian besar disparitas harga jual di dalam dan luar negeri. Secara perhitungan ekonomi, produsen tentu cenderung memilih untuk ekspor daripada DMO.
Tanpa mencari kambing hitam, memang diperlukan sejumlah perbaikan tata kelola batu bara di Indonesia untuk menghindari masalah kelangkaan ini terjadi lagi di kemudian hari. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan sebagai alternatif solusi.
Pertama, PLN dan IPP membuat proyeksi kebutuhan batu bara hingga jangka waktu tertentu meliputi volume dan spesifikasi serta penyebaran lokasi PLTU untuk menyesuaikan dengan jumlah cadangan, volume produksi serta lokasi tambang.
Perlu dibuat platform yang andal untuk memantau kebutuhan pasokan batu bara dan status stok di semua PLTU PLN dan IPP, sehingga dapat diantisipasi kekurangan pasokannya.
Kedua, cadangan batu bara dalam beberapa dasawarsa ke depan akan menipis dan habis. PLN dan IPP harus mempunyai perencanaan subtitusi dengan mengurangi ketergantungan energinya dari PLTU berbahan bakar batu bara dan beralih ke pembangkitan non fosil atau energi baru dan terbarukan (EBT).
Ketiga, pemerintah harus tegas dan berani menindak produsen batu bara yang tidak memenuhi kewajiban DMO, karena telah menyebabkan dampak sistemik dan masif bagi timbulnya isu sosial, ekonomi, dan politik skala nasional.
Keempat, pemerintah perlu untuk membuat rumusan yang berkeadilan atas penetapan Harga Batubara Acuan (HBA) agar diperoleh keseimbangan keuntungan antara PLN dan IPP serta produsen tambang.
Kelima, pemerintah memperbaiki dan memperkuat jalur logistik ke PLN dan IPP, termasuk penyediaan kapal dan barge serta peningkatan kualitas infrastruktur di pelabuhan tujuan agar kapasitas dan manajemen bongkar tidak terkendala. Diperlukan pula fasilitas pencampuran yang memadai dengan sistem zonasi, sehingga pemerintah dapat memungut royaltinya dalam bentuk in-kind.
Keenam, keterbukaan di PLN dan IPP terkait dengan pembelian dan aspek komersial, sehingga informasi terkait mudah diakses oleh pemasok batu bara serta publik.
Pelarangan ekspor diharapkan tak berlangsung lama mengingat dampak dan efek sampingnya yang berimbas ke banyak pihak. Tata kelola batu bara yang lebih baik untuk kepentingan nasional akan dapat memberikan kontribusi positif bagi negara dan juga masyarakat secara keseluruhan.