Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Setelah Nikel, Jokowi Kaji Larangan Ekspor Timah dan Tembaga

Presiden Jokowi meyakni larangan ekspor barang tambang akan berdampak positif bagi neraca perdagangan. Dia mencontohkan larangan nikel yang berkontribusi terhadap surplus neraca perdagangan selama 19 bulan terakhir.
Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, Jawa Barat, Kamis (8/1/2022). Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, Jawa Barat, Kamis (8/1/2022). Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA - Presiden Joko Widodo mengungkapkan larangan ekspor barang tambang atau mineral mental membuahkan dampak positif.

Seperti diketahui, beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengumumkan larangan ekspor sementara untuk komoditas batu bara mulai 1 Januari hingga 31 Januari 2022. Hal tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan batu bara bagi pembangkit listrik di Tanah Air.

Presiden, dalam wawancaranya dengan Bisnis, meyakini bahwa langkah yang diambil pemerintah sudah tepat. Dia mencontohkan dampak larangan ekspor nikel yang berbuah manis.

"Sekarang ini sudah 19 bulan neraca perdagangan surplus, itu dari mana? Dari stop ekspor nikel. Muncul angka US$20,8 miliar. Dulu ekspor tanah yang ada nickel ore paling hanya US$2 miliar setahun, artinya ada lompatan yang tinggi sekali," paparnya, Kamis (6/1/2022).

Jokowi pun menegaskan pemerintah terus menjalankan larangan ekspor barang tambah mentah. "Setelah nikel, nanti tahun ini bauksit, sekarang sedang dimatangkan. Kita siapkan smelter," ujarnya.

Setelah bauksit, Jokowi menuturkan pemerintah akan mencoba larangan timah dan tembaga. "Kita harus berani!" tegasnya.

Kebijakan-kebijakan ini harus diambil karena dia yakin bauran energi harus secepatnya dilakukan, baik melalui energi baru terbarukan (EBT), baik hidropower, angin, arus bawah laut, dan geothermal. "Semua harus dikembangkan lagi sehingga tidak hanya ketergantungan pada batu bara. Indonesia punya potensi besar," ungkapnya.

Dia memandang problem transisi energi di semua negara adalah telanjur memakai batu bara yang lebih murah. "Sekarang jika mau dibelokkan ke EBT yang harga produksinya dua kali lebih mahal siapa yang akan bayar selisihnya?" Hal ini yang menjadi tantangan, tambah Presiden.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper