Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ketika Digitalisasi Dalam Negeri Gagal Memberikan Tuah

Digitalisasi ekonomi cenderung berupa tren perdagangan, alih-alih peningkatan produksi yang optimal dan efisien.
Pandemi Covid-19 berhasil mempercepat transformasi bisnis serta aktivitas jual beli dari tradisional menjadi daring atau online lewat prinsip digitalisasi. - Antara
Pandemi Covid-19 berhasil mempercepat transformasi bisnis serta aktivitas jual beli dari tradisional menjadi daring atau online lewat prinsip digitalisasi. - Antara
Bisnis.com, JAKARTA — Beberapa negara maju dan berkembang mampu membuktikan bahwa digitalisasi berhasil mendorong perekonomian mereka tumbuh lebih cepat. Bahkan, digitalisasi di negara mereka bisa meredam tekanan pandemi Covid-19.
Sayangnya, hal ini tidak terjadi di Tanah Air. Menurut Ekonom senior dan pendiri Center of Reform on Economics atau Core Indonesia, kondisi itu tidak terjadi seluruhnya di Indonesia atau hanya di beberapa sektor.
Ekonom senior dan pendiri Core Indonesia Hendri Saparini langsung merujuk pada layanan dagang-el (e-commerce) sebagai salah satu sektor yang menunjukkan kesuksesan adaptasi teknologi dalam mendorong perekonomian. Rasanya, tanpa melihat angka pun buktinya dapat kita rasakan sendiri, bagaimana jalannya roda ekonomi masyarakat melalui platform dagang-el.
Melihat data Statista, kondisi Indonesia bahkan lebih kuat dari amatan sehari-hari menurut Hendri. Indonesia tercatat sebagai negara ketiga dengan persentase alokasi gaji tertinggi untuk belanja secara daring (online) di angka 12,66%, setelah China (19,34%) dan Meksiko (17,31 persen). Tidak ada satu pun negara tetangga di daftar 10 besar.
Meskipun begitu, kondisi itu perlu dicermati lebih dalam. Menurut Hendri, aspek yang paling menonjol dari e-commerce adalah peningkatan aktivitas perdagangannya, bukan produksi barang oleh para produsen dalam negeri yang kemudian memanfaatkan platform teknologi untuk memperluas pasar.
Dia menilai bahwa sangat mudah bagi kita untuk menemukan berbagai barang dengan harga miring, seperti pakaian, peralatan rumah tangga, dan lain-lain. Barang-barang itu dijual oleh para pelaku usaha dalam negeri tetapi diproduksi di luar negeri, sehingga implikasi bagi perekonomian dalam negeri belum begitu optimal.
"Sekarang penetrasi Indonesia yang meningkat sudah memberikan manfaat di beberapa sektor, seperti e-commerce, tetapi belum di subsektor lainnya," ujar Hendri pada pekan lalu.
Tidak hanya itu, adaptasi digital pun belum membawa manfaat yang cukup merata bagi berbagai skala usaha. Di sektor pertanian, Research Associate Core Indonesia Dwi Andreas mengungkapkan bahwa adaptasi digital hanya berpengaruh bagi pemain besar, bukan petani wong cilik.
Berdasarkan risetnya, dengan lahan sempit atau kurang dari 0,5 hektare tidak menikmati dampak dari adaptasi teknologi digital. Dengan lugas, Andreas menyebut bahwa pengaruh digitalisasi bagi mereka 0,00 persen atau tidak berefek sama sekali.
Lapisan petani dengan luas lahan lebih dari 0,5 hektare, tercatat hanya 4,76 persen yang memanfaatkan teknologi informasi. Petani yang sekaligus bergerak di pengolahan hasil pertanian tercatat 14,29 persen memanfaatkan teknologi.
Jumlah terbesar ada di pedagang dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan bagi mereka sendiri, yakni 42,86 persen memanfaatkan teknologi. Menurut Andreas, temuan itu cukup menggambarkan tren terkini di industri pertanian.
"Ketika muncul berbagai pemain baru di dunia pertanian, dengan slogannya melindungi petani, memotong rantai pasok, itu tidak dinikmati petani kecil sama sekali. Itu termasuk [dalam kategori] pedagang dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan bagi mereka sendiri," ujar Andreas.
Hendri menilai bahwa struktur ekonomi dan sosial masyarakat serta orientasi kebijakan pemerintah memengaruhi kurang optimalnya manfaat digitalisasi bagi perekonomian secara menyeluruh. Namun, utamanya, pemerintah lah yang harus berperan lebih besar. 
Menurut Hendri, pemerintah harus fokus meningkatkan penetrasi adopsi digital di sisi produksi, jangan terbuai oleh zona nyaman lonjakan perdagangan di e-commerce. Digitalisasi justru harus didorong hingga ke tingkat produksi terkecil di masyarakat. 
"Petani, saat harga cabe turun, dengan teknologi bisa mengawetkan atau memproduksi dengan nilai tambah tinggi, itu baru besar manfaatnya. Mestinya didorong untuk sektor-sektor produksi, dari sisi supply, karena demand tumbuh sangat tinggi tetapi ada permasalahan dari sisi supply," ujarnya.
Imbas dari belum meratanya digitalisasi ke berbagai sektor dan lapisan masyarakat cukup terlihat saat pandemi Covid-19. Menurut Hendri, daerah-daerah yang mampu bertahan lalu tumbuh perekonomiannya adalah daerah-daerah yang memiliki sumber daya komoditas primer.
Di sisi lain, masyarakat di daerah-daerah tanpa sumber daya primer relatif tertekan saat pandemi Covid-19. Oleh karena itu, penguatan digitalisasi menjadi penting agar pertumbuhan perekonomian dapat lebih merata.
"Daerah penghasil komoditas primer memang bisa tumbuh tinggi. Namun, mereka yang bukan pengahasil komoditas primer tidak ada kesempatan tumbuh tinggi," ujar Hendri.
BELAJAR DARI TETANGGA
Hendri menilai bahwa adaptasi teknologi yang cukup berhasil terjadi di Thailand. Salah satu kebijakan penting di sana adalah kewajiban relokasi industri yang tida bisa bertransisi memanfaatkan lebih banyak teknologi—atau yang gemar diucapkan para pejabat pemerintah: industri 4.0.
Menurutnya, pemerintah Thailand misalnya mendorong produksi souvenir, perhiasan, dan kosmetik ke negara-negara lain, di antaranya Indonesia. Produk-produk yang menunjang pariwisata Thailand itu tidak diproduksi dengan teknologi tinggi, sehingga harus dialihkan ke negaralain.
"Itu kebijakan komprehensif, misalnya industri penunjang pariwisata, industri kreatif tidak bisa dengan 4.0 maka mereka relokasi. Konsep digitalisasinya semua mendapatkan manfaat, [investasi atau industri] yang mau masuk Thailand harus 4.0," ujar Hendri.
Pemerintah Thailand pun memberikan insentif yang berbeda-beda terhadap investasi yang masuk, berdasarkan sektor, jenis usaha, dan skala bisnisnya. Menurut Hendri, skema tersebut dapat diadopsi Indonesia agar tidak seperti saat ini, di mana insentif relatif dipukul rata.
Hendri menyarankan agar pemerintah meningkatkan penetrasi digitalisasi dengan mengoptimalkan jaring pengaman sosial. Pemerintah perlu menambah dan meningkatkan kualitas pelatihan wirausaha kepada masyarakat, sembari mendorong penerapan teknologi.
"Bantuan sosial setiap tahunnya Rp50 triliun. Kalau itu menjadi captive market bagi produk UMKM, pertanian, pengolahan, pengolahan ikan, daging ayam, ada pelatihan dalam paket bansos, maka akan ada Rp50 triliun untuk peningkatan usaha dan digitalisasi," ujarnya.
Kondisi saat ini menurutnya menyebabkan adaptasi teknologi di Indonesia tidak memberikan daya dorong maksimal terhadap perekonomian. Momentum pemulihan ekonomi harus membangkitkan kesadaran pemerintah untuk mengoptimalkan pekuang digitalisasi yang ada, agar fondasi perekonomian dapat lebih solid.
"Itulah kenapa pendapatan perkapita tidak otomatis meningkat dengan digitalisasi. Harus ada beyond commercial trend, harus ada beyond dari yang sifatnya sekadar transaksi, tetapi memperbaiki struktur agar jauh lebih kompetitif," ujar Hendri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper