Bisnis.com, JAKARTA – Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyayangkan kebijakan larangan ekspor sementara batu bara yang dikeluarkan pemerintah untuk menjamin pasokan komoditas tersebut di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di dalam negeri.
Arsjad Rasjid, Ketua Umum Kadin Indonesia, mengatakan bahwa pihaknya menyayangkan kebijakan sepihak dan tergesa-gesa yang diambil pemerintah terkait larangan ekspor batu bara di tengah upaya pemulihan ekonomi nasional.
“Ada peran penting pelaku usaha dalam memulihkan ekonomi nasional di masa pandemi, jadi kami sangat berharap, setiap kebijakan pemerintah yang berdampak pada dunia usaha dan perekonomian nasional, seperti larangan ekspor batu bara ini harus dibicarakan bersama,” katanya melalui keterangan resmi, Sabtu (1/1/2022).
Dia menuturkan, ekspor batu bara menjadi salah satu pendorong percepatan pemulihan ekonomi nasional, karena booming komoditas yang sangat dibutuhkan pasar global.
Kadin, kata dia, melihat masih ada peluang dari ekspor batu bara karena banyak negara yang membutuhkan komoditas itu dengan kapasitas dan harga tinggi untuk menghidupkan kembali industrinya.
Terkait klaim langkanya pasokan batu bara untuk PLTU, Arsjad menyebut, tidak semua PLTU milik PLN dan independent power producer (IPP) yang mengalami krisis suplai batu bara.
Berdasarkan penelusuran Kadin, lanjutnya, pasokan batu bara ke setiap PLTU yang dikelola PLN maupun IPP sangat bergantung terhadap kontrak penjualan atau pasokan dengan masing-masing perusahaan pemasok.
“Anggota Kadin Indonesia banyak yang merupakan perusahaan pemasok batu bara, dan mereka telah berupaya maksimal untuk memenuhi kontrak penjualan dan aturan penjualan batu bara untuk kelistrikan nasional sebesar 25 persen, sebagaimana diatur dalam Kepmen ESDM Nomor 139/2021,” jelasnya.
Bahkan, beberapa perusahaan pemasok batu bara telah menyuplai komoditas tersebut melebihi kewajiban DMO dengan harga yang sesuai untuk kebutuhan PLTU PLN dan IPP.
“Kami berharap agar pemerintah dapat menerapkan sistem reward dan penalties yang adil dan konsisten, bukan memberlakukan sistem sapu jagat kepada seluruh perusahaan batu bara. Apalagi, kebutuhan PLN adalah kurang dari 50 persen dari jumlah produksi nasional, dan pemberlakuan sistem ini akan mengurangi pendapatan PNBP, serta pelaku bisnis harus menanggung biaya demurrage yang cukup signifikan.”
Arsjad pun meminta pemerintah meninjau kembali kebijakan tersebut, karena banyak perusahaan batu bara nasional yang terikat kontrak dengan luar negeri. Selain itu, larangan ekspor batu bara akan memperburuk citra pemerintah terkait dengan konsistensi kebijakan dalam berbisnis.
“Nama baik Indonesia sebagai pemasok batu bara dunia akan anjlok. Selain itu, upaya kita menarik investasi, memperlihatkan diri sebagai negara yang ramah investor dan iklim berusaha yang pasti dan dilindungi hukum akan turun reputasinya. Minat investor di sektor pertambangan, mineral, dan batu bara akan hilang, karena dianggap tidak bisa menjaga kepastian berusaha bagi pengusaha,” ujarnya.
Meski demikian, dia menegaskan Kadin Indonesia senantiasa mendukung kebijakan dan peraturan yang diterbitkan oleh pemerintah. “Hanya saja, pemerintah perlu melibatkan Kadin untuk paling tidak dimintai klarifikasi dan solusi jika ada keluhan yang dialami oleh pengguna batu bara domestik, termasuk PLN,” katanya.
Menurutnya, Kadin Indonesia merekomendasikan agar segera dilakukan diskusi antara pemerintah, PLN, dan pengusaha batu bara guna mencapai solusi yang tepat, bukan hanya dari sisi pasokan tapi juga dari permintaan, seperti pelabuhan PLN, perencanaan ataupun procurement PLN.