Bisnis.com, JAKARTA – Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) memperkirakan jumlah penerimaan dana pada 2022 lebih kecil daripada capaian 2021, imbas dari harga minyak sawit mentah atau CPO yang lebih rendah daripada rata-rata harga pada 2021.
Kepala BPDPKS Eddy Abdurrachman memperkirakan penerimaan dana pada tahun depan di kisaran Rp45 triliun, jauh lebih rendah daripada realisasi penerimaan per 17 Desember 2021 yang mencapai Rp69,72 triliun.
“Pada 2022 mungkin akan ada koreksi harga CPO dan rata-rata di kisaran US$800–US$900 per ton sehingga akan berpengaruh ke penerimaan dana dari pungutan ekspor. Kami perkirakan pada 2022 nanti di kisaran Rp45 triliun,” kata Eddy dalam konferensi pers, Selasa (28/12/2021).
Realisasi penerimaan sepanjang 2021 sendiri menembus rekor tertinggi sejak BPDPKS berdiri. Eddy mengatakan capaian ini dipengaruhi oleh harga CPO yang sempat memecah rekor dan membuat besaran pungutan ekspor berada pada level tertinggi.
“Penerimaan kita pada semester I/2021 melonjak karena besaran ekspor mengacu pada PMK No. 191/2020 yang mana pungutan terbesar adalah US$225 per ton saat harga sudah di atas US$995 per ton,” paparnya.
Pemerintah lantas mengeluarkan revisi besaran pungutan ekspor lewat penerbitan PMK No. 76/PMK.05/2021. Dalam beleid tersebut tarif pungutan ekspor terbesar dipatok sebesar US$175 per ton untuk harga CPO di atas US$1.000 per ton.
“Sepanjang 2021 harga CPO di puncak sehingga kita terapkan tarif maksimum,” katanya.
BPDPKS memperkirakan permintaan ekspor produk sawit pada 2022 akan meningkat menjadi 27,9 juta ton, sementara harga akan memasuki fase normalisasi di kisaran US$871–US$1.094 per ton di batas atas dan US$821–US$1.032 di level moderat.