Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) masih terus menggodok insentif fiskal untuk industri hijau.
Sri Gadis Pari Bekti, analis di Pusat Industri Hijau Kemenperin, mengatakan bahwa insentif fiskal untuk industri hijau yang saat ini dibahas, antara lain berupa perpajakan yang telah memasuki tahun kedua, dan akan dilanjutkan pada tahun depan.
Dia menjelaskan, kebijakan insentif pajak yang ada saat ini masih bersifat parsial dan tidak mengerucut pada perusahaan industri yang menerapkan prinsip ramah lingkungan. Hal yang juga dibahas di Pusat Industri Hijau Kemenperin adalah revisi regulasi perpajakan.
“Kami sudah melakukan kajian selama 2 tahun, yang pertama usulan bentuk insentif fiskal industri hijau. Kedua, kriteria utama pemberian insentif. Ketiga, usulan revisi regulasi perpajakan. Keempat, usulan bentuk lain insentif fiskal, serta alternatif revisi regulasi perpajakan,” katanya dalam sebuah siaran langsung, Jumat (24/12/2021).
Kemenperin saat ini diketahui sudah memiliki 28 standar industri hijau, dan 44 perusahaan industri yang telah mendapatkan sertifikasi. Pemberian insentif fiskal nantinya akan diprioritaskan bagi perusahaan industri yang telah tersertifikasi hijau.
Adapun, bentuk insentif non-fiskal yang telah digelontorkan, antara lain pembangunan kapasitas dalam rangka mendorong pemangkasan output gas rumah kaca di industri.
Baca Juga
Selain itu, sertifikasi industri hijau juga digratiskan oleh pemerintah. Kemenperin juga berencana memasukkan komoditas yang telah tersertifikasi hijau ke daftar belanja pemerintah.
Sri Gadis menjelaskan, sertifikasi industri hijau diberikan kepada perusahaan yang memenuhi 28 standar yang ditetapkan.
Untuk memacu industri yang baru memenuhi sebagian dari standar tersebut, Kemenperin menggelar penghargaan industri hijau, di mana hingga tahun ini telah diberikan kepada 1.032 perusahaan.
Sebelumnya, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan, penyusunan insentif bagi industri yang menerapkan prinsip keberlanjutan akan mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 98/2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK).
Dalam beleid tersebut, Kementerian Perindustrian bertugas menetapkan standar industri yang berkelanjutan, untuk kemudian dijadikan dasar pengenaan insentif.
“Insentif bisa diberikan secara bertahap, tergantung dengan kemampuan fiskal [pemerintah], tapi kami akan berhitung industri-industri yang masih sampai saat ini menghasilkan karbon emisi yang tinggi,” ujar Agus.