Bisnis.com, JAKARTA — Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Arsjad Rasjid meminta pemerintah untuk kembali mendorong sejumlah mekanisme insentif pajak bagi dunia usaha terkait dengan upaya pemulihan ekonomi tahun depan.
Arsjad meminta pemerintah untuk mempertimbangkan penerapan kompensasi kerugian yang berlaku untuk masa pajak selanjutnya dan masa pajak sebelumnya untuk memberi keringanan pada beban pajak pelaku usaha.
“Perlu dipertimbangkan juga seperti yang telah dilakukan di negara lain seperti kompensasi kerugian yang berlaku untuk masa pajak selanjutnya dan masa pajak sebelumnya,” kata Arsjad saat memberikan sambutan dalam Bisnis Indonesia Business Challenges 2022 secara daring, Kamis (16/12/2021).
Berdasarkan analisis dampak Covid-19 kepada pelaku usaha yang dilakukan oleh BPS, sekitar 82,8 persen usaha mengklaim mengalami penurunan pendapatan. Sebanyak 14,6 persen tidak mengalami perubahan atau stagna dan sisanya 2,5 persen perusahaan mengaku mengalami kenaikan pendapatan.
Dengan demikian, Arsjad menambahkan, pemerintah juga diharapkan dapat memberikan keringanan tagihan listrik terutama pada industri manufaktur. Dia beralasan industri manufaktur tetap tumbuh positif di tengah pandemi dengan kontribusi mencapai 19,8 persen dari keseluruhan produk domestik bruto atau PDB.
“Untuk usaha skala kecil seperti industri kecil dan menengah bantuan permodalan masih dibuuthkan mengingat permodalan untuk industri kecil terbatas dan berasal dari modal sendiri,” tuturnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Seperti diberitakan sebelumnya, disrupsi suplai global dan mutasi terbaru varian Covid-19 menyebabkan proyeksi perekonomian global berpotensi terkoreksi. Hal tersebut dinilai perlu diantisipasi dan diwaspadai oleh Indonesia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa saat ini setidaknya terdapat dua risiko utama dalam perekonomian global, yakni dirupsi suplai global serta penyebaran varian delta dan mutasi terbaru Covid-19. Kedua resiko itu terjadi di tengah masih timpangnya distribusi vaksin di seluruh dunia.
Menurut dia, disrupsi suplai global lebih panjang dari perkiraan sehingga menimbulkan kenaikan harga barang, harga energi, hingga memicu tekanan inflasi di sejumlah negara. Misalnya, inflasi di Amerika Serikat berada di 5,4 persen dalam empat bulan terakhir dan inflasi Uni Eropa mencapai 3,4 persen pada September 2021.
"Permasalahan global supply disruption yang lebih panjang dan masih tingginya ketidakpastian perkembangan Covid-19 di berbagai belahan dunia membuat proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia turun," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) pada Rabu (27/10/2021).
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada Mei 2021 memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi global tahun ini dapat berada di angka 5,8 persen. Namun, kedua risiko itu membuat proyeksinya direvisi menjadi 5,7 persen.
"International Monetary Fund [IMF] merevisi proyeksi ekonomi dunia yang pada Juli lalu 6 persen menjadi 5,9 persen," ujar Sri.