Upaya Swasta Dukung Indonesia Gapai Net Zero Emission

Dalam memerangi laju perubahan iklim global, swasta berperan penting pada target penurunan emisi gas rumah kaca. 
Gambar: Poster Webinar Towards Net-Zero Emission: What Net Zero Emission Means for the Private Sector?
Gambar: Poster Webinar Towards Net-Zero Emission: What Net Zero Emission Means for the Private Sector?

Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah memastikan target Net Zero Emissions di tahun 2060 akan terpenuhi jika kolaborasi dengan swasta berjalan dengan baik. Swasta berperan penting dalam memerangi laju perubahan iklim global, terutama soal target penurunan emisi gas rumah kaca. 

Perjanjian Paris pada 2015 menjadi titik awal dalam penanganan perubahan iklim. Sebanyak 196 negara sepakat untuk menjaga kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 2 derajat Celcius dan menuju 1,5 derajat Celcius. 

Sementara pada COP26 Glasgow yang berlangsung bulan lalu, Indonesia merupakan salah satu negara penandatangan dokumen bersama dalam menuju transisi energi bersih dan ramah lingkungan.  

Menurut Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK, Laksmi Dhewanthi, dalam keputusan di Glasgow, negara yang menyetujui transisi energi bersih terutama untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil seperti batu bara, tetap dipersilakan untuk mempertimbangkan kondisi dalam negerinya. 

"Dalam target penurunan emisi karbon atau nationally determined contribution [NDC] terbaru, angkanya tetap di 29% dengan usaha sendiri pada 2030 dan 41% bantuan internasional. Pada Juli lalu, Indonesia menyampaikan NDC updated bersama-sama dengan dokumen lainnya, yakni LTS-LCCR 2050 atau Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience," ujar Laksmi dalam webinar yang digelar KADIN Indonesia dan IBCSD, Selasa (14/12/2021). 

Jika tetap mengacu pada angka 29 persen dengan usaha sendiri, pemerintah akan memprioritaskan 5 sektor, yakni kehutanan dan lahan, energi, limbah, industri dan pertanian. Sementara dari 5 sektor itu, ada dua yang memiliki kontribusi utama, sektor kehutanan 17,2 persen dan energi 11 persen dari total 29 persen tersebut. 

Saat ini, Indonesia sudah menyusun NDC Mitigasi dan NDC Adaptasi Roadmap serta sudah menyiapkan rencana operasionalnya. Dua dokumen itu berisikan 11 kegiatan utama, termasuk restorasi lahan gambut, penerapan manajemen kehutanan berkelanjutan, dan lainnya. 

Menurut Laksmi, dokumen NDC dan LTS-LCCR 2050 terpisah, tapi menjadi satu kesatuan. NDC berisi update komitmen penurunan emisi gas rumah kaca yang selalu diperbarui tiap tahunnya, sementara LTS-LCCR 2050 sifatnya formulasi kebijakan dan informasi alias kebijakan jangka panjang. 

"Jadi, keputusan terkait target Net Zero Emissions dan komitmen tidak menggunakan lagi batubara tidak boleh dilepaskan dari prinsip pertimbangan, kebutuhan dan negara-negara yang akan melakukan transisi. Prinsip untuk mendukung transisi yang berkeadilan harus dikedepankan, karena kondisi industrial tiap negara berbeda," tambah Laksmi. 

Lebih lanjut Laksmi mengatakan dengan mengacu LTS-LCCR 2050, Indonesia akan mencapai kondisi net zero emission pada 2060 atau lebih cepat. Hal ini terkait dengan asumsi yang digunakan pemerintah, yakni pertumbuhan populasi, tingkat ekonomi, konsumsi energi, dan sebagainya. 

Menurut Laksmi, target Net Zero Emissions akan lebih cepat terlaksana apabila semua pemangku kebijakan ikut bergerak, bukan hanya pemerintah melainkan juga dunia usaha, akademisi, masyarakat dan pemerintah daerah. Jejaring dan kolaborasi yang lebih kuat antar pemangku kebijakan itu, kata Laksmi akan mempercepat kita mencapai tujuan baik secara adaptasi maupun mitigasi perubahan iklim. 

Pada kesempatan yang sama, Direktur Lingkungan Hidup Bappenas Medrilzam mengamini pentingnya kolaborasi. Menurutnya, persoalan Net Zero Emissions bukan hanya terkait dengan persoalan perubahan iklim atau lingkungan semata, tapi juga transformasi ekonomi. 

"Langkah dan ambisi kita mencapai Net Zero Emissions itu sejalan dengan transformasi ekonomi di masa depan. Jadi salah satu tulang punggung ekonominya itu low carbon development. Melalui capaian ini, yang nantinya terkait dengan Green Economy dan semua turunannya, kita akan di tahun 2045 harus lepas dari middle income traps," jelas Medrizal, Selasa (14/12/2021). 

Melalui capaian dan implementasi Net Zero Emissions yang konsisten dilakukan, nantinya akan muncul kesempatan green jobs dan peluang investasi baik itu dalam bisnis hijau pada energi terbarukan maupun ekonomi sirkular. 

"Dari perhitungan kami, ekonomi sirkular mampu meningkatkan PDB pada kisaran Rp593-Rp638 triliun di tahun 2030. Sementara di bidang sosial, akan muncul 4,4 juta lapangan kerja hijau. Untuk investasi energi terbarukan itu sekitar Rp4,8 triliun sedangkan di ekonomi sirkular itu Rp308 triliun," ujar Medrizal. 

Besarnya investasi sekaligus peluang dari bisnis hijau dan sirkular tentunya juga memiliki tantangan yang luar biasa besar. Selain investasi yang besar, resiko, transfer teknologi dan inovasi serta persiapan migrasi pekerja untuk menyambut green jobs perlu disiapkan secara matang. 

Pemerintah, kata Medrizal, tidak ingin kita hanya membicarakan ekonomi hijau dan Net Zero Emissions secara berapi-api tapi tetap saja mengulangi kesalahan yang sama, hanya menjadi market dari negara-negara maju.

KOLABORASI 

Persoalannya, besarnya investasi yang harus disiapkan untuk menyambut era ekonomi hijau tidak akan sanggup ditanggung oleh pemerintah. Dari perhitungan Bappenas, butuh sekitar rata-rata 1 triliun USD untuk tahun 2021-2060 dan biaya-biaya tambahan 3-5 persen PDB di tahun berjalan, sehingga butuh investasi dan kerja sama dari sektor swasta untuk mewujudkan itu semua. 

Sebagai wujud kontribusi swasta dalam mewujudkan target pemerintah, APRIL Group turut berkomitmen dalam upaya mencapai net zero emission. Komitmen ini diwujudkan oleh APRIL Group melalui APRIL2030.

"Target untuk mencapai net zero emission ini banyak termasuk dalam pilar climate positive dari empat pilar utama APRIL2030. Kami memiliki target untuk mencapai 50% penggunaan EBT dalam fiber operation kami di kehutanan. Kemudian, kami akan menurunkan emisi karbon di dalam keseluruhan hasil produk kami sebanyak 25%," jelas Deputy Director of Sustainability and Stakeholder Engagement APRIL Group, Dian Novarina.

Hingga saat ini, APRIL Group telah melakukan beberapa langkah nyata dalam upaya mewujudkan komitmennya. Misal, APRIL Group telah menggunakan 80% renewable energy dalam operasional bisnisnya dan akan ditingkatkan menjadi 90% di 2030. APRIL Group juga telah mengoperasikan dua bus listrik produk PT Mobil Anak Bangsa untuk digunakan oleh para karyawan pada perusahaannya di Riau, Sumatra.

Langkah ini tak hanya untuk menekan emisi di lingkungan perusahaan, tetapi juga untuk meningkatkan kesadaran para karyawan APRIL Group agar berpartisipasi nyata dalam aksi penurunan emisi gas rumah kaca dalam keseharian hidup mereka. Selain itu, APRIL Group sudah memulai pemasangan panel surya atau solar panel yang ditargetkan akan mencapai 20 megawatt pada 2025.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Media Digital
Editor : Media Digital
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

# Hot Topic

Rekomendasi Kami

Foto

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper