Bisnis.com, JAKARTA - Salah satu agenda prioritas presidensi G20 oleh Indonesia pada jalur keuangan adalah memperkuat arsitektur keuangan internasional.
Hal itu dilakukan salah satunya dengan penguatan keuangan dan tata kelola International Monetary Fund sebagai pusat jaring pengaman (safety net) keuangan global.
Penguatan keuangan atau permodalan IMF dinilai penting akibat banyaknya negara-negara yang sangat membutuhkan permodalan guna melunaskan kewajibannya.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo mencontohkan alokasi Special Drawing Rights (SDR) ke negara-negara anggota yang membutuhkan sebagai contoh peran IMF sebagai center global financial safety net.
Adapun, alokasi SDR ke negara anggota merupakan kebijakan IMF untuk mendukung likuiditas global dalam menghadapi kebutuhan akan cadangan devisa dan mendorong daya tahan dan stabilitas ekonomi global terhadap krisis seperti dampak pandemi Covid-19.
Pada Agustus 2021, SDR mengalokasikan SDR ke negara-negara anggota senilai US$650 miliar ekuivalen. Indonesia mendapatkan US$6,31 miliar sehingga mendorong cadangan devisa akhir Agustus berada di posisi rekor US$144,8 miliar.
Baca Juga
"Menjadi penting bagi IMF untuk diperkuat permodalannya. Juga diperkuat dari sisi tata kelola maupun representasi voting dari masing-masing anggota," tuturnya pada konferensi pers hasil pertemuan Finance and Central Bank Deputies (FCBD) G20 di Nusa Dua, Bali, Jumat (10/12/2021).
Di sisi lain, forum G20 jalur keuangan pada pertemuan perdananya juga membahas pentingnya penguatan pada sisi representasi atau voting dari masing-masing negara anggota IMF.
Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, memandang perlunya penyesuaian kuota untuk lebih merefleksikan voting power berdasarkan skala ekonomi negara anggota.
Menurut Dody, pembahasan ini merupakan salah satu pembahasan yang sulit dalam mencapai titik temu. Hal ini sangat tergantung dengan kemauan suatu negara, dengan voting power yang lebih besar, untuk mengurangi porsi kekuatannya agar diserahkan ke negara lain guna lebih menjunjung representasi atau keterwakilan.
"Kuota kalau dengan posisi sekarang belum merefleksikan voting power yang mencerminkan skala ekonomi negara tersebut. Ini diminta untuk dinaikkan kuotanya [untuk selain negara maju] tapi dibagi sesuai dengan skala ekonomi yang representatif. China itu dicerminkan sebagai kekuatan ekonomi, namun kalau mau dinaikkan [kuotanya] maka ada negara lain yang dikorbankan [dikurangi kuotanya]. Eropa, misalnya itu mau tidak dikurangi [kuotanya]," jelas Dody.
IMF, yang hadir pada FCBD sebagai delegasi, mengatakan bahwa organisasinya memiliki sumber pendanaan yang dibutuhkan bagi negara-negara yang mengajukan bantuan dalam menghadapi tantangan struktural.
Mereka akan diberikan akses terhadap pendanaan dari IMF (seperti SDR) serta saran kebijakan, pendampingan ahli dan teknis, pengembangan kapasitas, begitu pula dalam melakukan transisi baik terkait dengan kebijakan pascapandemi maupun menuju energi bersih yang menjadi prioritas G20.
Terkait dengan pembiayaan, First Deputy Managing Director IMF Geoofrey Okamoto sebagai delegasi mengaku bahwa organisasinya bisa mengontribusikan sumber daya yang dimilikinya sesuai dengan proposal negara-negara membutuhkan.
Okamoto mengatakan bahwa sejauh ini tidak ada rencana untuk menyalurkan kembali alokasi SDR. Sehingga, belum ada kepastian seperti apa bentuk mekanisme yang disiapkan oleh IMF untuk pembiaayaan sejumlah kebijakan prioritas G20.
"Tidak ada rencana saat ini untuk mengalokasikan tambahan SDR, berkaitan dengan pembiayaan prioritas kebijakan yang digarisbawahi oleh presidensi G20," tutur Okamoto pada wartawan di Nusa Dua, Bali.
Terkait dengan kontribusi IMF bagi negara-negara yang membutuhkan, kini proposal lengkap bagi keanggotaan negara-negara yang membutuhkan tengah dipertimbangkan untuk pertemuan di musim semi tahun depan (IMF Spring Meeting 2022). Keanggotaan ini akan membantu negara-negara yang perlu mengatasi masalah struktural lama.
"Kami sangat terlibat dengan presidensi G20 dan anggoatanya secara dalam aspek yang luas. Kendati kami tidak menyediakan pendanaan, kami menyediakan bimbingan dan keahlian kebijakan, dukungan analitis kepada negara-negara anggota. Kami terlibat secara langsung dengan suatu negara untuk menemukan apa tantangan spesifik yang dimiliki dan respon kebijakan yang tepat untuk mengatasinya," katanya.