Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Soal Pajak Karbon, Gapmmi: Prosesnya Masih Panjang

Pajak karbon ditetapkan pemerintah dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Besarannya turun dari usulan sebelumnya sebesar Rp75 per kg CO2e menjadi Rp30 per kg CO2e.
Salah satu fasilitas produksi industri makanan. Istimewa/ Kemenperin
Salah satu fasilitas produksi industri makanan. Istimewa/ Kemenperin

Bisnis.com, JAKARTA – Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman (Gapmmi) menyatakan belum memperhitungkan potensi dampak dari penerapan pajak karbon yang rencananya dimulai pada tahun depan.

Ketua Umum Gapmmi Adhi S Lukman mengatakan hal itu lantaran belum adanya peta jalan yang disusun oleh pemerintah. Pasalnya, peta jalan tersebut terkait dengan besaran insentif bagi perusahaan yang berhasil menurunkan emisi karbon, serta pajak yang harus dibayar bagi yang melampaui batas maksimum.

"Roadmap-nya kan harus disusun dulu, karena berdasarkan undang-undang yang baru, harus ada roadmap dulu. Roadmap-nya saja belum, jadi menurut saya masih panjang," kata Adhi kepada Bisnis, Selasa (23/11/2021).

Pajak karbon ditetapkan pemerintah dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Besarannya turun dari usulan sebelumnya sebesar Rp75 per kg CO2e menjadi Rp30 per kg CO2e.

Tahap pertama, mulai 1 April 2022 hingga 2022, diterapkan mekanisme pajak berdasar pada batas emisi untuk sektor pembakit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.

Adapun mulai 2025 dan seterusnya, implementasi pajak karbon akan diperluas ke sektor-sektor industri lain memperhatikan kesiapan dan faktor-faktor seperti kondisi ekonomi, kesiapan pelaku, serta dampak dan skala.

Selain itu, Gapmmi juga tengah mengkaji potensi dampak pemberlakuan cukai minuman berpemanis pada tahun depan. Meski demikian, Adhi mengatakan tidak tepat kiranya pemerintah memberlakukan kebijakan tersebut di saat ekonomi masih dalam proses pemulihan.

Terlebih Adhi mencatat masih ada kontraksi di sektor minuman meski secara keseluruhan industri mamin bertumbuh. Adhi menyebut cukai minuman berpemanis merupakan satu dari faktor yang memicu tingginya inflasi pada tahun depan.

Selain itu, pengusaha juga telah terbebani oleh tinggi harga bahan baku, biaya-biaya, dan logistik, sehingga beban kenaikan harga hampir bisa dipastikan akan diteruskan kepada konsumen.  

"Kelihatannya pemerintah masih mempertimbangkan [penerapan cukai minuman berpemanis], karena kondisi seperti ini kan tidak tepat ya untuk menerapkan itu. Namun kami sudah dalam pembahasan dengan pemerintah," katanya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Reni Lestari
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper