Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo menilai bahwa tarif program pengungkapan sukarela atau PPS relatif tidak besar, meskipun lebih tinggi dari tax amnesty jilid pertama. Salah satunya, karena aset pengusaha pasti sudah berkembang dari beberapa tahun lalu.
Wakil Ketua Umum Bidang Kebijakan Fiskal dan Publik Apindo Suryadi Sasmita menyatakan bahwa pengusaha tidak perlu menilai tarif PPS mahal. Program yang berlaku pada tahun depan itu menerapkan tarif yang beragam sesuai pilihan wajib pajak.
Bagi peserta tax amnesty 2016–2017 yang hendak mengikuti PPS, tarif pajak penghasilan (PPh) final berkisar 6 persen–11 persen atas harta bersih yang belum dilaporkan pada saat program pengampunan pajak 2016–2017.
Lalu, wajib pajak orang pribadi peserta program pengampunan pajak maupun non peserta pengampunan pajak yang mengungkapkan harta bersih dari penghasilan tahun 2016–2020 dengan tarif PPh final berkisar 12 persen–18 persen.
"Rate PPS ini orang bilang mahal, dulu tax amnesty [berkisar] 3 persen. Jangan bilang begitu, dari 2015 duit sudah muter sudah gede," ujar Suryadi pada Selasa (23/11/2021).
Suryadi yang juga Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai bahwa ketika wajib pajak hendak mengikuti PPS, penempatan dana dalam obligasi merupakan pilihan yang tepat. Pengusaha pun mesti memahami bahwa terdapat keringanan.
Baca Juga
Menurutnya, peserta PPS yang memilih menempatkan dananya di surat berharga negara (SBN) memperoleh manfaat karena pemerintah yang membayar uang tebusan. Suryadi bahkan menyebut bahwa pengusaha tinggal memindahkan uangnya dari bantal ke SBN.
"Jangan berpikir kita yang bayar. Kalau mau diusahakan [memilih program dengan tarif] 8 persen–14 persen juga bagus. Inflasi di depan kita, misalkan sekarang beli tanah, bangunan, apa, begitu inflasi ketutup lah [tarif itu]," ujarnya.