Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah mendorong penguasaan teknologi pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) seiring dengan upaya mencapai karbon netral atau net zero emission pada 2060.
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Chrisnawan Anditya menyatakan dukungan pemerintah dalam pengembangan teknologi nuklir sebagai pembangkit listrik masa depan.
“Pemerintah akan mendorong penguasaan teknologi PLTN, melakukan kerja sama luar negeri, melakukan analisis multikriteria pemanfaatan PLTN, dan menyusun roadmap PLTN sebagai opsi terakhir,” katanya kepada Bisnis, Minggu (21/11/2021).
Selain itu, eksekutif juga turut mengupayakan penyiapan infrastruktur yang diperlukan untuk bergerak menggunakan nuklir sesuai panduan International Atomic Energy Agency (IAEA).
Persiapan lainnya adalah pembentukan organisasi pelaksana implementasi program PLTN. Di sisi lain, proyek tersebut juga harus lebih dahulu mendapatkan persetujuan dari publik.
“PLTN akan dikembangkan 2035. Dalam peta jalan transisi energi menuju karbon netral, kami memproyeksikan PLTN pertama mulai COD 2049, dan pada 2060 kapasitas PLTN akan mencapai 35 GW,” terangnya.
Baca Juga
Dalam RUPTL 2021–2030, PLN masih mempertimbangkan dan mengkaji implementasi pembangkit tenaga nuklir di Indonesia. Batan sebagai pemrakarsa pembangunan pembangkit dengan energi nuklir ini telah melakukan kajian dan penelitian yang cukup intens.
Meski begitu, regulasi dari pemerintah belum secara jelas memberikan panduan bagaimana arah pengembangan teknologi nuklir di Indonesia.
“PLN juga mempertimbangkan potensi penggunaan energi nuklir, terutama ketika cadangan energi fosil sudah menipis,” tulis berkas RUPTL dikutip Bisnis.
Adapun, beberapa teknologi dikaji untuk melihat potensi PLTN secara optimal. Di antaranya molten salt reactor technology yang berbentuk pembangkit floating sebagai alternatif pengembangan PLTN di samping PLTN konvensional.
Berdasarkan pentahapan pembangunan industri dan penetapan industri prioritas dalam RIPIN, disebutkan bahwa industri PLTN akan dikembangkan pada 2020–2024 dan 2025–2035, sedangkan industri logam tanah bahan bakar nuklir akan dikembangkan pada 2025–2035.
Sementara itu, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) meyakini kandungan uranium sebagai bahan baku pembangkit listrik tenaga nuklir cukup melimpah di Papua.
Pelaksana Tugas Kepala Pusat Riset dan Teknologi Bahan Galian Nuklir (PRTBGN) BRIN Yarianto Sugeng Budi Susilo mengatakan bahwa kondisi itu berhubungan dengan geografis Papua di masa lalu.
Saat ini, cadangan uranium terbesar di dunia adalah Australia, sedangkan Papua memiliki kedekatan secara geografis dengan benua tersebut. Bahkan keduanya sempat menyatu.
“Yang paling besar memang di Australia, ini mungkin karena kita punya sejarah Australia dengan Papua ini dulunya satu. Jadi di utara [Australia/Papua Barat] ini kaya uranium, saya kira di Papua juga kaya,” katanya saat webinar Jumat (12/9/2021).
Secara global, sumber penghasil uranium terbesar terdapat di Australia. Meski begitu, produsen terbesar uranium adalah Kazakhstan, disusul Kanada, Australia, Nigeria, Namibia, serta Australia.
“Tapi kami belum melakukan eksplorasi mendalam di Papua,” katanya.
Sementara itu, sumber daya uranium yang telah diestimasi di Indonesia mencapai 89.000 ton uranium (tU3O8) dan sumber daya thorium mencapai 143.234 ton (tTh).