Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Semen Indonesia (ASI) menyatakan sebagian besar anggotanya telah memutuskan menyetop ekspor pada dua bulan terakhir tahun ini karena kendala pasokan batu bara yang tersendat.
Ketua Umum ASI Widodo Santoso mengatakan tahun ini pihaknya menargetkan ekspor semen dapat menembus 12 juta ton. Akan tetapi target tersebut dipastikan tak akan tercapai dengan kondisi ketersediaan batu bara saat ini.
Adapun sampai dengan Oktober 2021, ekspor semen telah mencapai 10,45 juta ton.
"Diharapkan tahun 2021 [ekspor] bisa 12 juta ton, tetapi harapan ini pupus karena pada November dan Desember kemungkinan tidak ada ekspor lagi karena kritisnya stok batu bara," kata Widodo kepada Bisnis, Jumat (19/11/2021).
Angka ekspor sampai dengan Oktober masih lebih tinggi 12,36 persen dibandingkan dengan pengapalan sepanjang tahun lalu sebesar 9,3 juta ton.
Ekspor semen mulai mengalami lonjakan tajam pada 2018 sebesar 6 juta ton dari tahun sebelumnya 2,76 juta ton. Pada 2019 ekspor tercatat 6,5 juta ton, dan menanjak menjadi 9,3 juta ton pada 2020.
Menurut catatan ASI, rata-rata stok batu bara di pabrikan semen saat ini hanya mampu bertahan untuk kebutuhan lima hari. Pada kondisi normal, stok bisa bertahan sampai dengan 30 hari.
Akibat penyetopan kegiatan produksi yang berorientasi ekspor, Widodo memperkirakan akan terjadi penurunan tingkat utilisasi yang cukup dalam.
"Utilisasi pabrik turun drastis dan harus menyetop sebagian unit produksinya seperti Semen Indonesia di Tuban dan Rembang, Semen Tonasa, Semen padang, Semen Merah Putih dan lain-lain," jelasnya.
Sementara itu, terkait penetapan harga batu bara khusus untuk industri semen dan pupuk sebesar US$90 per metrik ton, Widodo mengatakan angka tersebut relatif masih lebih tinggi dibandingkan dengan harga pada awal 2021.
Sebelumnya, penetapan harga batu jual bara khusus untuk industri semen dan pupuk tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 206.K/HK.02/MEM.B/2021 tentang harga jual batu bara untuk pemenuhan bahan baku industri semen dan pupuk dalam negeri. Kebijakan ini mulai berlaku pada 1 November 2021 hingga 31 Maret 2022.
Dia memperkirakan meski sudah ada kepastian harga, tetap akan terjadi kenaikan biaya produksi berkisar 40-50 persen.
"Namun kelihatannya pasokan batu bara masih relatif tersendat, belum ada kemajuan yang berarti," katanya.
Penyetopan ekspor akan dilakukan sampai stok batu bara mencapai titik normal yakni tiga hingga empat minggu.