Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Presidensi G20: Menimbang Kepentingan Nasional dan Global

Sebegai pemegang Presidensi G20 Indonesia memiliki banyak kesempatan untuk mendorong berbagai isu negara berkembang yang muncul di tengah krisis. Namun, sebagai pemegang Presidensi, Indonesia harus mendorong isu yang lebih luas lagi, terutama akses vaksin untuk mendukung pemulihan.
Menteri Ekonomi Amerika Serikat Janet Yellen dan Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati di KTT G20 di Roma, Italia/Instagram @smindrawati
Menteri Ekonomi Amerika Serikat Janet Yellen dan Menteri Keuangan RI Sri Mulyani Indrawati di KTT G20 di Roma, Italia/Instagram @smindrawati

Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia secara resmi mengemban tugas Presidensi Group of Twenty (G20). Estafet kepemimpinan forum global itu, telah resmi diteruskan ke Indonesia saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghadiri KTT G20 Roma, Italia, Minggu (31/10/2021).

Indonesia merupakan negara Asia kelima setelah Arab Saudi, Jepang, China, dan Korea Selatan yang pernah memegang Presidensi G20. Selain itu, Indonesia menjadi salah satunya negara ASEAN yang menjadi anggota G20.

Sejumlah pihak mempertanyakan manfaat dan relevansi peran Indonesia dalam Presidensi G20. Terutama, terkait dengan manfaat yang bisa didapatkan untuk kepentingan sosial dan ekonomi dalam negeri. Karena, Indonesia pun saat ini masih berupaya mengejar baik upaya vaksinasi dan target capaian pertumbuhan ekonomi.

Di sisi lain, Indonesia sebagai bagian dari negara berkembang, juga menetapkan ambisi besar untuk menyuarakan kepentingannya. Kepentingan tersebut meliputi penanganan pandemi Covid-19, pemulihan ekonomi, krisis iklim, digitalisasi ekonomi, dan perpajakan internasional.

Secara umum, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan bahwa sejak krisis keuangan global 2008-2009, G20 telah memainkan peran penting dalam membentuk kembali pengaturan ekonomi global. Pada periode tersebut, forum G20 menerapkan regulasi makroprudensial untuk mengatasi krisis yang berasal dari sektor keuangan, khususnya bank.

Kini, krisis dan isu yang menjadi fokus agenda G20 telah bergeser ke setidaknya tiga aspek, yaitu penanganan dan pencegahan pandemi Covid-19; pembiayaan berkelanjutan untuk isu perubahan iklim; dan perpajakan internasional dalam menghadapi berkembanganya ekonomi digital.

Menurut Sri Mulyani, presidensi G20 oleh Indonesia semakin relevan karena merupakan bagian dari negara berkembang yang lebih terdampak oleh isu-isu tersebut, dibandingkan dengan negara-negara maju.

"Kita juga akan menekankan peran G20 khususnya dalam mengatasi isu yang spesifik bagi negara berkembang. Karena, Indonesia dalam hal ini memiliki perhatian yang sama untuk menyuarakan pandangannya, seperti halnya negara berkembang yang lain perlu untuk didengarkan," ujar Sri Mulyani pekan lalu, Kamis (11/11/2021).

Selain keuntungan dari sisi peran Presidensi, Indonesia diperkirakan bisa ikut mujur saat menjadi tuan rumah dari berbagai kegiatan G20. Sri Mulyani yang juga termasuk Panitia Nasional Penyelenggara Presidensi G20 2022, berharap agar sebagian besar kegiatan G20 bisa dilaksanakan secara fisik.

Selama setahun kepemimpinan, forum G20 akan melaksanakan sebanyak 150 pertemuan dan side event berbentuk working group tingkat Sherpa dan Finance, pertemuan setingkat menteri, hingga Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang akan dihadiri oleh kepala negara/pemerintahan. Semuanya diharapkan bisa digelar di berbagai kota di Indonesia.

Di sisi kehadiran, jumlah delegasi per pertemuan diestimasi sekitar 500 sampai dengan 5.800 orang per acara sepanjang tahun. Oleh sebab itu, sebagai penyelenggara atau tuan rumah, Indonesia diperkirakan bisa meningkatkan konsumsi dalam negeri hingga US$119,2 juta, atau setara dengan Rp1,69 triliun.

Selain itu, penyelenggaran acara G20 selama setahun ke depan diperkirakan bisa menyediakan sebanyak 33.000 lapangan pekerjaan dari berbagai sektor. Dengan ratusan pertemuan sepanjang tahun, manfaat ekonomi yang diperoleh bisa mencapai 1,5 sampai 2 kali lebih besar dari acara IMF-WB Annual Meeting 2018.

"Penyelenggaran G20 juga diharapkan bisa menciptakan US$533 juta [setara dengan Rp7,59 triliun] dalam PDB kita. Jadi itu adalah dampak nyata dari penyelenggaran kegiatan, yang kita harap juga bisa menciptakan kepemilikan berdasarkan populasi di Indonesia," tutur Ketua I Finance Track G20 tersebut.

Kegiatan forum G20 di Indonesia nantinya akan dimulai di 2022 mendatang. Puncak presidensi oleh Indonesia nantinya akan dilaksanakan melalui Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20, yang rencananya digelar di Bali pada 31 Oktober 2022. Selama masa presidensi, Indonesia juga memanfaatkan momen tersebut untuk memperlihatkan dirinya di panggung internasional.

Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal melihat kesempatan dalam memimpin G20 selama satu tahun ke depan harus dimanfaatkan untuk memperlihatkan pemulihan ekonomi di dalam negeri. Hal ini, ditujukan agar para investor khususnya dari luar negeri tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Seperti diketahui, pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah kembali memasuki zona positif pada kuartal II/2021 sebesar 7,07 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Angka pertumbuhan tersebut berhasil mengeluarkan Indonesia dari jurang resesi, setelah empat kuartal berturut-turut mengalami kontraksi, atau sejak kuartal II/2020.

Pada kuartal III/2021, perekonomian Indonesia kembali tumbuh positif 3,51 persen (yoy), sedikit melambat akibat adanya penyebaran varian Delta di pertengahan tahun.

"Ini momentumnya tidak bisa lebih tepat lagi di 2022, karena tahun depan adalah momen pemulihan. Ini adalah showcasing Indonesia baik-baik saja. Nanti investor akan masuk, dan derasnya aliran investasi terutama dari negara-negara maju," jelasnya pada awal bulan ini dalam sebuah webinar.

Fithra tidak menampik fakta bahwa ajang G20 merupakan informal event atau yang tidak mengikat, sehingga seringkali dinilai sebatas kongko-kongko saja atau sebatas gimmick. Namun, dia berargumen bahwa forum tersebut bisa dimanfaatkan Indonesia untuk menarik multiplier effect atau efek pengganda.

"Tidak masalah gimmick. Itu memberikan efek signaling, yang penting untuk menarik investor. Apapun deklarasi yang disampaikan oleh G20 itu sebenarnya ajang kongko-kongko saja. Tetapi yang peling penting bagaimana mengikat, teman-teman kita itu kan big player atau elite groups semua," ucapnya.

KETIMPANGAN

Kendati demikian, Indonesia tetap menetapkan target dan ambisi besar untuk bisa menyuarakan kepentingannya, terutama sebagai negara berkembang.

Menteri Sri Mulyani berkali-kali menyampaikan bahwa salah satu prioritas utama yang disuarakan pada forum G20 nantinya adalah untuk mengatasi pemulihan ekonomi yang tidak merata. Hal itu disebabkan oleh perbedaan kapasitas antarnegara dalam utamanya penanganan ancaman kesehatan.

Untuk itu, G20 membentuk Gugus Tugas Gabungan Keuangan-Kesehatan (The G20 Joint Finance-Health Task Force), sebagai mekanisme kerja sama dalam menangani masalah-masalah yang berkaitan dengan pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons pandemi.

Tidak hanya itu, Sri Mulyani turut menegaskan penguatan peran dan kapasitas World Health Organization (WHO) dalam penguatan sistem kesehatan global yang transparan dan inklusif.

Dari sisi pembiayaan pemulihan dan penanganan Covid-19, Sri Mulyani mengatakan G20 akan mendorong berbagai cara. Contohnya, peningkatan kapasitas pembiayaan multilateral development bank (MDB) dan pengembangan fasilitas pembiayaan baru, dan inisiatif Layanan Penangguhan Utang atau Debt Service Suspension Initiative (DSSI) bagi negara miskin.

Lalu, mengurangi dan menghilangkan bea masuk (duty) dan pajak impor barang-barang yang berkaitan dengan penanganan pandemi Covid-19, seperti hand-sanitizer, disinfektan, alat kesehatan, dan vaksin.

Khususnya terkait dengan penanganan kesehatan, sejumlah lembaga internasional sudah sejak lama menyoroti permasalahan ketimpangan akses vaksin.

Berdasarkan catatan Bisnis, Kepala Ekonom International Monetary Fund (IMF) Gita Gopinath menyebut akses vaksin telah muncul sebagai garis patahan utama di mana pemulihan global terbagi menjadi dua blok.

Gita menjabarkan, kubu yang dapat menormalisasi aktivitas lebih lanjut akhir tahun ini, dan kelompok yang masih akan menghadapi infeksi yang muncul kembali dan meningkatnya angka kematian akibat Covid.

"Pemulihan, bagaimanapun, tidak terjamin bahkan di negara-negara di mana infeksi saat ini sangat rendah selama virus tersebut beredar di tempat lain," ujar IMF dalam laporan World Economic Outlook pada pertengahan tahun ini.

Konsekuensi ketimpangan vaksin ini tidak hanya membahayakan aspek keselamatan dan kesehatan, tetapi juga perekonomian. Kajian The Economist Intelligence Unit (EIU), pada Agustus lalu, memperkirakan negara-negara yang tidak mencapai vaksinasi terhadap 60 persen dari populasinya pada pertengahan 2022, diperkirakan merugi total US$2,3 triliun atau setara dengan Rp32,7 triliun, pada 2022-2025.

Global Forecasting Director EIU Agathe Demarais mengatakan Asia akan menjadi benua atau kawasan yang akan paling terpengaruh dari lambatnya vaksinasi Covid-19. Kerugian kumulatif yang diperkirakan sebesar US$1,7 miliar.

“Secara mutlak, Asia akan menjadi benua yang paling terdampak dari jadwal vaksinasi yang tertunda (dengan kerugian kumulatif US$1,7 miliar). Sebagai bagian dari PDB, negara-negara di gurun Sahara akan mencatat kerugian tertinggi dengan total 3 persen dari PDB yang diperkirakan pada 2022-2025,” tulis Agathe pada kajiannya yang diterima Bisnis.

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Fadhil Hasan menyebut Presidensi G20 harus dimanfaatkan Indonesia untuk menyoroti isu kesenjangan vaksin Covid-19. Hal itu disampaikannya tidak lama setelah KTT G20 di Roma, Italia, di mana Indonesia resmi memulai Presidensinya.

Vaksin Covid-19 sebagai game changer dari penanganan pandemi Covid-19 ini dinilainya sentral untuk mempercepat pemulihan ekonomi, terutama di negara-negara yang memiliki akses vaksin terbatas.

"Kesempatan ini bisa juga digunakan sebagai forum untuk mendesak agar kesenjangan ini bisa dikurangi. Sehingga ekonomi kita bisa pulih secara bersama-sama. Indonesia sebagai tuan rumah tentunya memegang peran penting ini," jelasnya pada webinar, Jumat (5/11/2021).

Di dalam negeri, Indonesia menargetkan capaian vaksinasi dosis pertama sebesar 70 persen, dan dosis kedua sebesar 40 persen pada akhir 2021. Per hari ini, jumlah orang yang sudah divaksinasi Covid-19 dosis kedua telah mencapai 86.318.225 orang atau 41,45 persen dari target. Lalu, jumlah orang yang sudah disuntik vaksin Covid-19 dosis pertama sebanyak 132.065.300 orang atau 63,41 persen.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Dany Saputra
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper