Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Mahpud Sujai

Peneliti Madya Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu

Lihat artikel saya lainnya

OPINI: Presidensi Indonesia di G20 dan Masa Depan EBT

Sebagai pemegang presidensi G20 selanjutnya, Indonesia mendukung penuh implementasi bebas emisi tersebut agar dapat terlaksana.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerima Presidensi G20 secara simbolis dari PM Italia pada Penutupan KTT G20 Roma, Minggu (31/10/2021) - BPMI Setpres/Laily Rachev
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerima Presidensi G20 secara simbolis dari PM Italia pada Penutupan KTT G20 Roma, Minggu (31/10/2021) - BPMI Setpres/Laily Rachev

Presidensi Italia di G20 tahun ini telah berakhir seiring dengan ditutupnya KTT G20 Roma pada akhir Oktober lalu. Tongkat kepemimpinan G20 beralih ke Indonesia, salah satu negara dengan sumber daya energi baru terbarukan (EBT) terbesar sekaligus penyumbang emisi karbon dunia.

Salah satu komitmen negara-negara G20 dalam komunike bersama adalah aksi perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan sesuai dengan Paris Agreement dan Agenda 2030.

Diperkuat pula dengan komitmen untuk mendorong sektor-sektor ekonomi menjadi net zero emission atau bebas emisi karbon. Adapun, sektor prioritas utama menuju ekonomi bebas emisi tersebut adalah sektor energi. Sebagai pemegang presidensi G20, Indonesia mendukung penuh implementasi bebas emisi tersebut agar dapat terlaksana.

Sejalan dengan itu, paradigma energi global sudah beralih dari energi fosil menjadi energi baru terbarukan yang bersih, dapat diperbaharui, ramah lingkungan serta bebas emisi.

Transisi energi dari fosil ke biomassa, panas bumi, angin dan tenaga surya ini merupakan perubahan yang signifikan terhadap sistem energi yang terkait dengan satu atau kombinasi dari struktur sistem, skala, ekonomi, dan kebijakan energi.

Hampir semua negara telah memulai transisi energi karena tidak lagi memungkinkan untuk mengandalkan energi fosil. Jerman adalah contoh keberhasilan dalam transisi energi. Penggunaan energi terbarukan di Jerman telah mencapai 35% dari total pembangkit listrik.

Kebijakan transisi energi harus disusun secara komprehensif dengan tujuan terukur, yaitu mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), mendorong energi bersih yang berkelanjutan, dan meningkatkan ketahanan energi dengan memanfaatkan sumber daya yang terbarukan.

Peran G20 menjadi sangat penting dalam mendorong transisi energi dengan berbagai alasan. Pertama, negara-negara G20 merupakan konsumen energi terbesar di dunia, yang secara total mengkonsumsi lebih dari 80% kebutuhan energi dunia.

Kedua, negara-negara G20 juga merupakan penguasa teknologi, produsen, serta investor terbesar energi baru terbarukan. Di sisi lain, negara-negara G20 tercatat menjadi penghasil emisi terbesar di dunia.

Dengan demikian, presidensi Indonesia di G20 ini menjadi momen penting untuk mendorong kebijakan transisi energi yang efisien, mudah, terjangkau dan implementatif. Implementasi energi terbarukan saat ini ditunjang oleh biaya teknologi energi bersih seperti tenaga surya, angin, dan baterai yang turun secara signifikan.

Dalam 10—20 tahun mendatang, teknologi energi bersih diperkirakan lebih murah dibandingkan dengan energi dari pembangkit listrik batu bara, minyak, dan gas. Namun, transisi ini ternyata tidak semudah yang dibayangkan.

Terdapat berbagai tantangan dan hambatan dalam menerapkan kebijakannya. Pertama, produsen energi fosil di dunia tentu saja akan tetap berusaha agar produksi energinya terserap oleh pasar global. Kedua, perilaku masyarakat yang sudah terbiasa dengan energi fosil sehingga sangat sulit untuk diubah.

Solusinya, negara-negara G20 perlu mengambil langkah aksi kebijakan yang dapat mempercepat terlaksananya transisi energi fosil menuju energi terbarukan. Terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan. Pertama, komitmen untuk mendukung riset dan pengembangan energi terbarukan.

Sebagian besar negara-negara G20 telah membuat komitmen publik untuk meningkatkan inovasi pendanaan sektor energi terbarukan agar pendanaan riset dan pengembangan bisa bertambah hingga sekitar US$30 miliar secara global dalam dua tahun mendatang.

Komitmen tersebut dapat dipenuhi dengan mendorong sektor swasta untuk meningkatkan investasi riset dan pengembangan secara signifikan, memberikan insentif pajak dan kemudahan fasilitas, kemitraan riset publik dan swasta, serta mendorong kompetisi inovasi yang didukung pemerintah.

Kedua, upaya memperbesar pasar energi terbarukan dengan mempromosikan dan mendorong masyarakat agar beralih menggunakan energi terbarukan, membantu meningkatkan volume produksi energi terbarukan dengan mendorong investor untuk lebih tertarik berinvestasi di sektor ini, serta mendorong perluasan pasar energi terbarukan melalui pemberian insentif pajak, insentif bagi end-user, menghapus subsidi bahan bakar fosil hingga mengenakan pajak karbon.

Ketiga, menjadikan sumber energi terbarukan lebih kompetitif dalam biaya dan bahkan lebih murah daripada bahan bakar fosil. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, yaitu melalui penggunaan energi terbarukan berskala besar, penyediaan jaringan untuk energi terbarukan, investasi interkoneksi, investasi stasiun pengisian tenaga listrik, hingga insentif dan pembangunan infrastruktur energi terbarukan yang cukup besar.

Langkah ini tentu membutuhkan komitmen yang sangat besar dari negara-negara G20 yang berperan sebagai katalisator transisi energi secara global.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper