Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Covid-19 Mereda, Bisnis Garuda (GIAA) Diprediksi Pulih 2023

Pandemi Covid-19 sempat membuat Garuda Indonesia mencapai titik nadir dengan pendapatan hanya US$20 juta per bulan. Padahal emiten berkode GIAA ini membutuhkan biaya operasional sebesar US$130-US$150 juta per bulan.
Pesawat Garuda Indonesia membawa 1,2 Juta vaksin Covid-19. Biro Pers Sekretariat Presiden/Lukas.
Pesawat Garuda Indonesia membawa 1,2 Juta vaksin Covid-19. Biro Pers Sekretariat Presiden/Lukas.

Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memproyeksikan kinerja PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA) akan pulih pada 2023 dengan catatan tak ada gelombang ketiga pandemi Covid-19.

Wakil Menteri BUMN II Kartika Wirjoatmodjo memaparkan harapannya tidak ada gelombang ketiga dan pengetatan pergerakan masyarakat, maka pendapatan maskapai pelat merah tersebut akan mulai pulih bertahap ke US$120 juta per bulan pada 2022 dan US$200 juta pada 2023.

“Apabila pandemi berangsur membaik dan tourism mulai bangkit, 2023 kita akan mencapai revenue awal,” ujarnya dalam rapat bersama dengan komisi VI DPR/RI yang dikutip, Rabu(10/11/2021).

Sebelumnya, Tiko, sapaan akrabnya telah memaparkan sejumlah penyebab yang membuat kondisi Garuda berada pada titik saat ini, tidak lain karena persoalan korupsi masa lalu. Kemudian pandemi Covid-19 membuat maskapai berjenis layanan penuh ini mencapai titik nadir dengan pendapatan hanya US$20 juta per bulan.

Padahal emiten berkode GIAA itu membutuhkan biaya operasional sebesar US$130-US$150 juta per bulan. Alhasil, utang Garuda semakin menumpuk dengan komponen terbesarnya untuk pembayaran kewajiban sewa pesawat kepada 32 lessor.

Per November, utang Garuda dilaporkan telah membengkak menjadi US$9,8 miliar atau nyaris Rp140 triliun. Emiten berkode GIAA itu pun tengah menempuh berbagai opsi restrukturisasi untuk mengurangi jumlah utang.

Tiko menargetkan proses restrukturisasi akan berhasil pada kuartal II/2022. Jika opsi yang ditempuh membuahkan hasil, Garuda bisa mengurangi ongkos operasional menjadi US$80 juta per bulan.

“Sementara revenue Garuda di Desember adalah US$70 juta. Jadi harapannya di Mei dan Juni 2022, Garuda bisa mencapai break event point dan mulai tumbuh positif,” tutur Tiko.

Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan perusahaan memilih untuk menyelesaikan persoalan negosiasi dengan lessor dalam lingkup pengadilan yang membutuhkan waktu 270 hari untuk menyelesaikan restrukturisasi. Penyelesaian in court, sebutnya, menjadi yang terbaik karena semua pihak akan duduk bersama memikirkan kesepakatan.

Irfan mengatakan perusahaan telah mengajukan proposal restrukturisasi kepada lessor. Dalam proposalnya, Garuda menawarkan tiga penyelesaian tunggakan.

Pertama, Garuda meminta adanya haircut atau pengurangan beban utang. Kedua, selama satu-dua tahun masa recovery atau saat pergerakan belum normal, Garuda akan membayar sewa pesawat dengan skema bayar-pakai.

Artinya, Garuda hanya akan membayar sewa jika pesawat tersebut dipakai berdasarkan jam operasionalnya. Ketiga apabila pandemi selesai dalam dua tahun, pihaknya akan kembali menyewa berdasarkan harga pasar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper