Bisnis.com, JAKARTA – Jadwal penerbangan PT Garuda Indonesia Tbk. (GIAA) saat ini makin terkikis karena telah mengurangi jumlah pesawat yang beroperasi dari sebesar 142 pesawat menjadi hanya 50-60 pesawat.
Wakil Menteri BUMN II Kartiko Wirjoatmodjo membenarkan bahwa jadwal penerbangan Garuda saat ini makin langka karena jumlah pesawat yang telah menyusut dengan mayoritas dikandangkan atau grounded.
“Kami dapat komplain sebulan belakangan flight Garuda makin langka. Memang karena banyak pesawatnya sudah di grounded. Dari 142 pesawat menjadi 50-60 pesawat. Ini memang jadi isu karena kita akan selektif melayani rute tertentu yang secara profitabilitas di atas cost structure yang ada dari Garuda,” ujarnya dalam rapat bersama komisi VI, Selasa (9/11/2021).
Tiko, sapaan akrabnya, menjelaskan tipe pesawat Boeing 737 yang lebih efisien dari sisi operasi menjadi yang paling banyak diambil oleh perusahaan lessor. Karena itu, maskapai pelat merah tersebut hanya menggunakan tipe widebody Boeing 777 sama yang 330 yang bisa mengangkut lebih banyak penumpang kendati tidak seefisien Boeing 777.
Sementara itu, kondisi berbeda dialami anak usaha Garuda, yakni Citilink yang masih relatif stabil dari sisi kepemilikan pesawat dengan mayoritas bertipe A320. Tipe pesawat dan kepemilikan pesawat oleh Citilink ini akan tetap dipertahankan.
Adapun, Tiko juga menggambarkan latar belakang kondisi Garuda saat ini merupakan gabungan dari dua aspek di mana pada masa lalu ada tata kelola yang buruk dan besar membuat cost structure yang tidak kompetitif.
Bahkan, ada kasus korupsi yang juga sudah diputuskan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait nilai kontrak pesawat. Nilai kontrak pesawat ini menyebabkan jumlahnya cukup tinggi dibandingkan dengan maskapai lainnya lainnya.
Pada 2019, emiten berkode saham GIAA tersebut sebetulnya sudah dapat menghasilkan keuntungan dari rute domestik kendati merugi di rute internasional. Garuda masih ada keuntungan senilai US$ 240 juta. Tetapi, pandemi menjadi pemicu yang disebutnya sebagai perfect storm.
Maskapai dengan jenis layanan penuh tersebut harus berjuang dengan cost structure dan pendapatan yang turun signifikan. Apabila pada 2019 jumlah penumpang GIAA sempat menyentuh 235 juta, saat ini drop menjadi hanya 70 juta orang.
“Ini yang merupakan imbas pengetatan kemudian juga penerapan PCR berdampak ke Garuda. Penumpang saat ini pun hanya 70 juta. Padahal pada Desember 2020 pernah mencapai 100 juta tapi karena perjalanan dikatakan turun lagi,” jelasnya.
Tiko menyebutkan saat ini sulit untuk memprediksi cashflow Garuda karena sangat tergantung dari pemulihan kondisi Covid.
“Jadi kalau ditanyakan Garuda ini kinerjanya turun karena apa karena pandemi atau karena korupsi? Dua-duanya Covid-19 dan korupsi,” tekannya.