Bisnis.com, JAKARTA – Maersk, perusahaan pengapalan internasional (main line operator/MLO) asal Denmark, berupaya meningkatkan schedule reliability guna meminimalisir dampak negatif kongesti yang terjadi di sejumlah pelabuhan global.
Senior Director A.P. Moller - Maersk Erry Hardianto menjelaskan saat ini ada sekitar 40-70 kapal yang mengantre untuk bersandar di pelabuhan Los Angeles. Rata rata kapal tersebut menunggu selama 10 sampai 14 hari untuk mendapat giliran sandar di pelabuhan.
Menurutnya, hal ini juga disebabkan oleh adanya kongesti di pelabuhan akibat kenaikan permintaan yang cukup tinggi dan efek pandemi Covid-19 berupa pembatasan kegiatan masyarakat. Meskipun saat ini kebijakan pembatasan aktivitas telah dilonggarkan tetapi dia meyakini dampaknya masih dirasakan.
Sejauh ini, kondisi tersebut tak hanya menyebabkan tekanan ketersedian ruang muat kapal tetapi juga menyebabkan tekanan ke schedule reliablity.
“Strategi yang Maersk lakukan untuk meningkatkan schedule reliability adalah dengan memindahkan kapal dari koridor koridor yang tidak terlalu padat, ke koridor-koridor yang permintaanya tinggi, sehingga kita tetap bisa melayani pelanggan dan mengurangi dampak negatif dari kongesti yang mengakibatkan buruknya reliablity banyak perusahaan pelayaran,” ujarnya, Minggu (7/11/2021).
Persoalan kongesti ini, paparnya bukan hanya terjadi di pelabuhan tetapi juga sudah merambah ke daerah hinterland, termasuk didalam-nya keterbasan truk dan gudang di Amerika dan negara tujuan ekspor lainnya.
Baca Juga
Akibat dari kongesti ini, sebelumnya pelayaran internasional harus memasukkan lebih banyak kapal lagi untuk rute yang sama. Sebagai ilustrasi, jelasnya, dalam situasi normal, dibutuhkan 6 kapal untuk melayani satu rotasi dari Asia ke Amerika. Namun dengan kongesti ini, perusahaan harus menambah 2 hingga 3 kapal tambahan untuk melayani rotasi yang sama.
Dia pun kembali menekankan hal tersebut tidak hanya menyebabkan tekanan ketersediaan ruang tetapi juga menyebabkan tekanan ke schedule reliability.
“Supply chain itu seperti rantai, yang ketika satu anak rantainya bermasalah, maka berimbas ke mata rantai lainnya. Ketika banyak kapal yang terlambat untuk kembali dari negara tujuan ke Asia, itu juga akan memberikan tekanan terhadap mata rantai supply chain di Asia,” ujarnya.