Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jelang Presidensi G20, Sri Mulyani Soroti soal Vaksin hingga Perubahan Iklim

Menkeu Sri Mulyani menyoroti berbagai isu dan permasalahan seperti kesetaraan akses vaksin Covid-19, perubahan iklim, dan perpajakan internasional.
Menteri Keuangan Sri Mulyani melantik sejumlah Pejabat Pimpinan Tinggi Madya dan Pimpinan Tinggi Pratama di lingkungan Kementerian Keuangan, Senin (5/10/2021)/ Biro KLI - Kemenkeu
Menteri Keuangan Sri Mulyani melantik sejumlah Pejabat Pimpinan Tinggi Madya dan Pimpinan Tinggi Pratama di lingkungan Kementerian Keuangan, Senin (5/10/2021)/ Biro KLI - Kemenkeu

Bisnis.com, JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menghadiri pertemuan keempat para Menkeu dan Gubernur Bank Sentral G20, dalam masa Presidensi Italia, di Washington DC, Amerika Serikat (AS), Rabu (13/10/2021).

Adapun, pertemuan diselenggarakan secara hybrid, serta menjadi bagian dari rangkaian pertemuan tahunan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund and World Bank Group Annual Meeting 2021 IMF WBG AM 2021).

Pada kesempatan ini, Menkeu Sri Mulyani menyoroti berbagai isu dan permasalahan seperti kesetaraan akses vaksin Covid-19, perubahan iklim, dan perpajakan internasional.

Pada isu kesetaraan akses vaksin, Menkeu menyoroti pertumbuhan global dan akses terhadap vaksin, yang notabene merupakan persyaratan untuk pemulihan berkelanjutan. Tidak hanya itu, dia menyampaikan upaya pemerintah Indonesia dalam meningkatkan dan mempercepat vaksinasi yang telah mencapai lebih dari 40 persen penduduk, dengan rata-rata 2 juta vaksinasi per hari.

Meski di tengah percepatan vaksinasi, Sri Mulyani menyampaikan bahwa Indonesia memanfaatkan momentum krisis untuk melanjutkan sejumlah reformasi struktural guna memperkuat fondasi bagi pemulihan ekonomi. Salah satunya melalui Omnibus Law Cipta Kerja dan pengesahan Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Terkait dengan isu perubahan iklim, Sri Mulyani menyebut isu itu menjadi salah satu yang terberat karena dapat mengancam peradaban manusia. Tidak hanya itu, perubahan iklim juga dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan dan stabilitas keuangan global.

Oleh karena itu, Bendahara Negara menekankan pentingnya transisi hijau dalam upaya penanganan perubahan iklim. Tidak hanya secara adil dan teratur, transisi hijau juga perlu diterapkan secara terjangkau. Terutama, bagi negara-negara berkembang dan negara miskin.

“Bauran kebijakan harus memungkinkan negara untuk meminimalisasi konsekuensi yang timbul dari transisi hijau. Upaya penurunan emisi di sektor energi melalui transisi dari penggunaan bahan bakar fosil [fossil phased out] harus dipersiapan dan dilaksanakan secara bertahap, dengan dukungan akses yang terjangkau dalam pembangunan infrastruktur dan teknologi rendah karbon yang berkelanjutan, meminimalisasi kerugian ekonomi dan sosial bagi berkembang dan negara rentan, termasuk memitigasi risiko hukumnya”, ujar Sri Mulyani seperti yang dikutip dari siaran resmi, Jumat (15/10/2021).

Meski demikian, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini mengatakan pendanaan masih menjadi salah satu tantangan besar bagi negara-negara yang memiliki komitmen untuk mengatasi perubahan iklim.

Oleh karena itu, menurutnya komitmen negara-negara maju sangat penting dalam mendukung pembiayaan untuk negara berkembang. Hal itu bisa dilakukan dengan mendorong kerja sama antara investor publik dan swasta, serta skema yang dapat memberikan keuntungan pada instrumen hijau agar lebih banyak menarik investasi.

Pada kesempatan yang sama, Sri Mulyani menegaskan pemerintah Indonesia akan terus mendukung agenda iklim G20. Salah satu komitmen ditunjukkan dengan mendukung agenda iklim melalui reformasi fiskal untuk mempercepat transisi hijau.

Untuk itu, saat ini Indonesia sedang dalam proses menerbitkan peraturan penetapan harga karbon dan pengembangan Kerangka Kerja Fiskal Perubahan Iklim.

Sementara pada sektor keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menyusun peta jalan Keuangan Berkelanjutan dalam dua tahap, yang mencakup periode 2015-2019 dan 2021-2025, sebagai panduan dalam menerapkan pembiayaan berkelanjutan dan memastikan penerapannya efektif.

Setelah kesetaraan akses vaksin Covid-19 dan perubahan iklim, Sri Mulyani tidak lupa mendorong pembahasan atas dua pilar reformasi pajak internasional. Pertama, negara pasar dari perusahaan multinasional berhak mendapatkan alokasi pemajakan atas penghasilan global perusahaan digital global atau multinasional terbesar

Kedua, pengenaan tarif pajak minimum global sebesar 15 persen. Menurut Sri, kesepakatan ini mencerminkan keberhasilan multilateralisme dalam mengatasi tantangan global untuk memerangi praktik base erosion profit shifting (BEPS) dan secara lebih luas, persaingan tidak sehat tarif pajak atau race to the bottom dalam perpajakan internasional.

Dalam sesi “International Taxation”, Sri Mulyani menyampaikan bahwa Indonesia akan terus berkolaborasi secara intensif dengan OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS, untuk mengembangkan rencana implementasi guna memastikan kesepakatan tersebut dilaksanakan secara global paling cepat pada tahun 2023. Dia menegaskan Indonesia berkomitmen dalam menjaga momentum implementasi kesepatakan tersebut pada masa Presidensi tahun depan.

Di level domestik, UU HPP yang baru saja disahkan memungkinkan partisipasi pemerintah dalam konsensus global terkait dengan digitalisasi ekonomi yang disepakati dalam Kerangka Inklusif OECD. Tidak hanya itu, beleid sapu jagad perpajakan itu merevisi undang-undang domestik untuk menyelaraskannya dengan konsensus global.

Sejumlah aturan yang diperkenalkan melalui UU tersebut adalah pengaturan baru tentang tunjangan dan penyesuaian tarif serta lapisan untuk penghasilan kena pajak orang pribadi (OP); revisi tarif PPN yang berbeda untuk setiap jenis barang dan jasa kena pajak; meningkatkan tarif PPN menjadi 11 persen pada 2022 dan 12 persen pada tahun 2025; serta memperkenalkan pajak karbon.

Di samping itu, Sri Mulyani juga memanfaatkan kesempatannya sebagai perwakilan Indonesia dalam untuk mengapresiasi capaian strategis Presidensi G20 Italia, seperti dukungan G20 untuk negara-negara rentan yang terdampak pandemi, serta pembentukan Sustainable Finance Working Group (SFWG) yang menghasikanl peta jalan keuangan berkelanjutan G20.

Selanjutnya, pembentukan High Level Independent Panel (HLIP) tentang pembiayaan untuk kesiapsiagaan dan respons pandemi; kesepakatan perpajakan digital; dan Dialog Investor Infrastruktur G20.

"Semua pencapaian ini penting bagi komitmen G20 terhadap pertumbuhan yang kuat, berkelanjutan, inklusif, seimbang, dan tangguh. Italia menunjukkan bahwa G20 dapat berfungsi sebagai penjaga kepentingan ekonomi dan keuangan global seluruh negara termasuk negara berkembang", ujar Sri.

Di 2022, sebagai pemegang Presidensi G20, Indonesia bertekad untuk mengatasi tantangan global yang masih akan muncul dan mencari solusi terbaik. Selain itu, Indonesia bertekad untuk memastikan semua negara dapat pulih bersama, dan berjalan menuju masa depan yang berkelanjutan. Untuk itu, Indonesia akan mengusung tema “recover together, recover stronger” dalam Presidensi G20 tahun depan.

"Untuk dapat pulih bersama dan lebih kuat, kita perlu mendorong produktivitas, meningkatkan ketahanan dan stabilitas, serta memastikan pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif. Ini harus didukung oleh kepemimpinan global kolektif yang kuat serta lingkungan dan kemitraan yang memungkinkan," ungkap Sri saat menutup pertemuan G20.

Adapun, jalur Keuangan (Finance Track) Presidensi Indonesia akan fokus pada enam agenda prioritas yaitu: (1) Exit Strategy untuk mendukung pemulihan; (2) Upaya mengatasi luka dalam perekonomian untuk mengamankan pertumbuhan di masa depan; (3) Sistem pembayaran di era digital; (4) Keuangan berkelanjutan; (5) Inklusi keuangan; dan (6) Perpajakan internasional.

Selain itu, Indonesia akan melanjutkan diskusi isu-isu legacy seperti mengintegrasikan risiko pandemi dan iklim dalam pemantauan risiko global; penguatan Global Financial Safety Net (GFSN); meningkatkan arus modal; dan melanjutkan Inisiatif Kesenjangan Data (Data Gap Initiatives).

Selanjutnya, meningkatkan reformasi regulasi sektor keuangan; memperkuat kesinambungan utang dan transparansi utang; mempercepat agenda infrastruktur menuju pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif; memanfaatkan dukungan MDB; memperkuat pencegahan, kesiapsiagaan dan respons pandemi; dan terakhir melanjutkan dukungan dalam menarik investasi sektor swasta di negara-negara berpenghasilan rendah, seperti di kawasan Afrika.

Pertemuan Menkeu dan Gubernur Bank Sentral dunia ini memiliki nilai penting menjelang pelaksanaan tugas Presidensi G20 Indonesia. Di antaranya adalah untuk melanjutkan dan mendorong peran kepemimpinan G20 dalam menjawab tantangan global, serta menciptakan pertumbuhan yang semakin inklusif, kuat, dan berkelanjutan.

Pada pertemuan tersebut, fokus negara anggota G20 ialah membahas isu untuk mengatasi tantangan jangka pendek dan menengah global secara efektif, termasuk divergensi ekonomi, perpajakan internasional, hingga transisi menuju ekonomi dan masyarakat yang lebih berkelanjutan.

Indonesia secara resmi akan memegang Presidensi G20 pada tahun depan setelah dilakukannya serah terima dari Italia kepada Indonesia pada Konferensi Tingkat Tinggi G20 (KTT G20) di Roma, Italia pada 30-31 Oktober 2021.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Dany Saputra
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper