Bisnis.com, JAKARTA - Untuk mendorong transisi ke ekonomi hijau (green economy), banyak investasi dan peraturan berkaitan dengan energi baru dan terbarukan (EBT) yang dibutuhkan.
Peraturan untuk mewadahi pemberian insentif agar menarik investasi terhadap EBT; serta investasi awal di sektor itu dibutuhkan Indonesia agar bisa bertransisi ke ekonomi yang ramah lingkungan.
Terutama untuk pemberian insentif agar menarik minat investor, anggaran negara dinilai berperan penting untuk melangsungkan transisi. Akan tetapi, dengan kondisi pandemi Covid-19 seperti saat ini, kapasitas fiskal dinilai sangat terbatas.
Mantan Menteri Keuangan 2013-2014 Chatib Basri menyebut rencana untuk menurunkan defisit APBN ke bawah 3 persen di 2023 salah satunya membuat kapasitas fiskal untuk mendukung transisi dari sisi pemberian insentif, terlihat sulit untuk diwujudkan.
Pasalnya, untuk mendukung penanganan pandemi Covid-19, defisit APBN 2020 sudah mencapai 6,09 persen terhadap PDB dan ditargetkan sebesar 5,8 persen di 2021. Defisit ditargetkan untuk terus kembali ke kondisi normal sebelum pandemi seiring dengan pemulihan kondisi pandemi.
"Kapasitas fiskal kita itu terbatas. Sangat terbatas, karena di 2023 itu defisit anggaran harus kembali ke bawah 3 persen sesuai dengan Undang-Undang No.2/2020," kata Chatib pada acara Low Carbon Development Week "A Green Economy for a Net-Zero Future: How Indonesia can Build Back Better after COVID-19 with the Low Carbon Development Initiative", Rabu (13/10/2021).
Baca Juga
Di sisi lain, rasio penerimaan pajak terhadap PDB Indonesia sangat rendah. Saat ini, rasio pajak Indonesia berkisar antara 9 hingga 11 persen dari PDB, jauh di bawah negara-negara Asean seperti Kamboja, Filipina, Vietnam, dan Thailand yang mencapai 18 persen dari PDB.
Dengan kelonggaran fiskal yang semakin dibatasi dan rendahnya rasio penerimaan pajak, Chatib menilai otomatis belanja akna perlu dibatasi. Hal ini tidak terkecuali untuk membiayai insentif fiskal guna menarik minat investor dalam berinvestasi pada EBT.
Meski demikian, dia menilai pihak swasta masih memilik ruang untuk mendukung transisi jika dari sisi fiskal tidak memadai. Hal itu, tambah Chatib, berkat suku bunga yang masih rendah (low interest rate).
Hal ini menjadikan biaya investasi relatif murah dalam beberapa tahun ke depan, sampai Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (Fed) memutuskan untuk menaikkan suku bunganya.
"Tetapi ruang itu tidak panjang. Karena mungkin The Fed harus menyesuaikan kembali kebijakan moneternya dalam beberapa tahun ke depan. Jadi kalau mau investasi, low interest zone masih ada dan memungkinkan sehingga kita bisa mencontoh transisi di UK atau South Korea. Ada ruang untuk itu," kata Chatib.
Dengan kondisi yang serba terbatas seperti ini, Chatib menyarankan penyaluran insentif bagi swasta bisa dilakukan melalui sejumlah jalur. Pertama, pengenaan pajak karbon secara bertahap.
Kedua, membatasi atau mengurangi konsumsi bahan bakar fosil dengan dikenakan cukai. "Pemerintah bisa mendapatkan penerimaan dari sini," kata Chatib.
Ketiga, mengurangi insentif dari sektor energi kotor dan dananya dialihkan ke sektor energi bersih. Chatib mencontohkan seperti pengurangan subsidi bahan bakar minyak (BBM).
"Dari sisi spending, saya tahu proposal ini sangat tidak populer. Sudah saatnya saya kira kita bicara mengenai pengurangan subsidi BBM dan subsidi listrik. Ini diperlukan, karena transisi energi tidak bisa dilakukan kalau fossil fuel murah. Siapa yang akan pindah ke renewable energy?," pungkasnya.