Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Zulvia Dwi Kurnaini

Analis Kebijakan Madya, Pusat Kebijakan APBN, Kementerian Keuangan

Lihat artikel saya lainnya

OPINI: Kebijakan Subsidi LPG dalam APBN

Distribusi LPG bersubsidi masih bersifat terbuka. Meskipun tercantum tulisan ‘Hanya untuk Masyarakat Miskin’ pada tabung, tetapi tidak efektif membatasi masyarakat umum membeli LPG bersubsidi.
Petugas melakukan tahap pengisian LPG pada tabung gas 3kg di SPBE Srengseng, Jakarta, Senin (1/2/2021). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti
Petugas melakukan tahap pengisian LPG pada tabung gas 3kg di SPBE Srengseng, Jakarta, Senin (1/2/2021). Bisnis/Eusebio Chrysnamurti

Indonesia mempunyai sejarah panjang dalam penyediaan subsidi BBM. Sejak 1977, pemerintah menggelontorkan tujuh jenis BBM bersubsidi hingga tersisa jenis premium, solar dan minyak tanah (mitan) pada 2005.

Untuk penyehatan APBN dan mengikuti kebijakan energi nasional dalam mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil, program konversi mitan ke LPG dijalankan pada 2007.

Berdasarkan Perpres No. 104 Tahun 2007, LPG tabung 3 kg bersubsidi (di bawah harga keekonomian) didistribusikan kepada rumahtangga (RT) dan usaha mikro. Karena niat awal adalah mengenalkan penggunaan LPG, target sasaran program konversi tidak hanya orang miskin meski Undang-Undang Energi (2007) menyebutkan subsidi disediakan untuk masyarakat tidak mampu.

Untuk program konversi, pemerintah menyediakan paket perdana (kompor gas dan LPG tabung 3 kg) yang terdistribusi 57,7 juta hingga 2019, tersebar di seluruh Indonesia kecuali NTT, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.

Program konversi berlanjut pada konversi solar ke LPG untuk nelayan kecil (mulai 2016). Selama 2008—2021, program konversi LPG menurunkan subsidi mitan dari Rp31,6 triliun (10 juta kl) menjadi Rp1,96 triliun (0,5 juta kl). Sebaliknya subsidi LPG melonjak dari Rp3,9 triliun menjadi Rp46,2 triliun. Porsi subsidi LPG rata-rata 34,6% dari subsidi energi (2018—2020). Dibandingkan dengan anggaran program Perlinsos, besaran subsidi LPG pada 2021 masih jauh lebih tinggi.

Distribusi LPG bersubsidi masih bersifat terbuka. Meskipun tercantum tulisan ‘Hanya untuk Masyarakat Miskin’ pada tabung, tetapi tidak efektif membatasi masyarakat umum membeli LPG bersubsidi. Saat ini justru terjadi shifting dari konsumsdi LPG non-subsidi ke LPG bersubsidi. Pada 2018—2020, volume LPG non-subsidi turun dari 0,7 juta MT menjadi 0,6 juta MT. Sebaliknya volume LPG bersubsidi meningkat dari 6,5 juta MT menjadi 7,1 juta MT.

Secara rata-rata, 91,3% konsumsi LPG nasional dipenuhi LPG bersubsidi. Bila hal ini dibiarkan tidak mustahil suatu saat seluruh konsumsi LPG akan menggunakan LPG bersubsidi. Berdasarkan analisa Susenas 2020, terdapat 55,5 juta RT menggunakan LPG bersubsidi di mana 18,5 juta RT merupakan golongan miskin dan rentan (40% pendapatan terendah) menikmati 23,3% manfaat subsidi, dan 25,6 juta RT merupakan masyarakat mampu (40% pendapatan teratas) menikmati 57,9% manfaat subsidi.

Mengacu pada perkiraan subsidi LPG 2021, manfaat subsidi yang dinikmati golongan miskin Rp10,8 triliun (Rp68.684/RT/bulan), sedangkan golongan mampu Rp26,7 triliun (Rp125.317/RT/bulan). Lalu, masih tepatkah kebijakan subsidi LPG dalam APBN? Untuk memastikan subsidi LPG efektif memberikan umpan balik bagi perekonomian dan kesejahteraan, ia harus tepat sasaran, yaitu hanya untuk golongan yang berhak, sesuai jumlah kebutuhan target sasaran, dan harga yang efisien.

Dari regulasi yang ada, tidak ada pembatasan untuk RT maupun usaha mikro karena tujuan utamanya untuk konversi.

Setelah 15 tahun, saatnya pemerintah melakukan pembenahan. Berdasarkan amanat UU Energi, sudah seharusnya subsidi LPG ditujukan hanya untuk masyarakat miskin dan rentan sehinga subsidi menjadi lebih tepat sasaran berbasis Keluarga Penerima Manfaat (KPM) di mana subsidi yang diterima digunakan untuk membeli LPG.

Subsidi LPG tidak lagi diberikan melalui subsidi komoditas yang menyediakan LPG Melon dengan harga di bawah keekonomiannya. Dengan mekanisme ini, Pemerintah dapat mengatur jumlah pemberian subsidi sesuai kebutuhan target sasaran, disertai dengan peningkatan efisiensi biaya produksi sehingga harga LPG tabung 3 kg yang sesuai keekonomian tetap dapat terjangkau.

Subsidi tepat sasaran harus didukung data yang valid. Data Terpadu Kesejahteraan Sosial yang merupakan basis penyaluran bansos dapat dijadikan salah satu basis penerima subsidi LPG tetapi perlu disempurnakan.

Untuk mengurangi exclussion error diperlukan juga mekanisme registrasi mandiri bagi pelaku usaha mikro, nelayan maupun petani kecil pengguna LPG dan mekanisme pengaduan yang memungkinkan masyarakat miskin pengguna LPG yang tidak masuk DTKS tetap mendapatkan subsidi.

Mitigasi resiko harus tetap dilakukan oleh pemerintah dengan menyiapkan bantalan fiskal untuk mengurangi dampak negatif bagi golongan masyarakat yang tidak lagi menikmati subsidi LPG. Perbaikan kebijakan subsidi LPG dari berbasis komoditas menjadi berbasis orang memang bukan merupakan kebijakan yang mudah tetapi harus dimulai.

Subsidi LPG yang tepat sasaran akan meningkatkan efisiensi belanja negara dan kemampuan fiskal pemerintah demi memperkuat perlindungan sosial. Perbaikan kebijakan subsidi LPG tepat sasaran harus dilakukan secara bertahap dan berhati-hati, melihat kondisi perekonomian maupun sosial masyarakat.

Diperlukan dukungan dari seluruh komponen bangsa, terutama masyakat untuk dapat beradaptasi dengan perubahan yang menuju ke arah perbaikan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper