Bisnis.com, JAKARTA - Krisis energi yang belakangan ini dialami oleh China diperkirakan bisa membawa untung bagi Indonesia, terutama untuk kinerja ekspor ke negara tersebut.
Menurut Kepala Ekonom BCA David Sumual, Indonesia diuntungkan karena negara-negara yang mengalami krisis beralih ke komoditas seperti batu bara untuk kebutuhan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Khususnya terhadap China, kontribusi ekspor batu bara Indonesia dipasok ke negara tersebut.
"Buat Indonesia [krisis di China] menguntungkan sebenarnya. Karena ekspor dan produksi batu bara cukup besar ya," kata David kepada Bisnis, Minggu (10/10/2021).
Berdasarkan catatan Bisnis, ekspor batu bara Indonesia ke China sebelumnya sudah diperkirakan meningkat setelah Negeri Tirai Bambu itu mengalmai krisis energi akibat pemulihan ekonomi pascapandemi.
China kini mengalami krisis listrik usai perekonomian di negara itu mulai kembali menggeliat dan rebound, sehingga kebutuhan terhadap energi meningkat.
Sementara itu, data Kementerian Perdagangan menunjukkan China menduduki posisi pertama dari 10 negara tujuan utama ekspor Indonesia, diikuti oleh Amerika Serikat (AS), Jepang, India, Singapura, Filipina, Korea Selatan, Vietnam, dan Thailand.
Hal ini, kata David, bisa berdampak positif terhadap neraca dagang Indonesia, yang hingga saat ini sudah mencatat surplus dalam 16 bulan berturut-tutut. Terakhir, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat surplus neraca dagang mencapai US$4,74 miliar, tertinggi sejak Desember 2006.
"Neraca dagang kita mungkin akan record [mencetak rekor] tahun ini ya. Ekspor juga mungkin highest-record dalam satu dekade terakhir ini," ujar David.
Data per Agustus 2021 memperlihatkan ekspor batu bara Indonesia ke China melonjak secara bulanan sebesar 32,7 persen, dan 236 persen secara tahunan.
David pun membandingkan kondisi lonjakan harga komoditas akibat krisis energi seperti yang terjadi saat ini, dengan apa yang terjadi pada tahun 1970-an. Pada era tersebut, pendapatan melimpah datang dari komoditas minyak.
"Ini [krisis 1970-an] mirip-mirip dengan keadaan sekarang. Waktu itu terjadi stagflasi di mana inflasi di banyak negara terutama Amerika [Serikat] naik tinggi. Harga minyak naik, dan ekonomi [Indonesia] belum pulih sepenuhnya. Sekarang juga kita masih di masa pemulihan tapi harga sudah naik tinggi," kata David.
Menurut David, kondisi ini kemungkinan akan berlangsung hingga 2022 di mana kenaikan harga komoditas membantu pertumbuhan perekonomian Indonesia. Namun, tidak menutup kemungkinan, tingginya harga komoditas energi bisa memukul balik ekonomi Indonesia jika berlangsung terlalu lama.
"Apakah berlangsung sampai 2023 di satu titik juga harga komoditas tinggi terutama energi bisa memukul balik perekonomian," pungkasnya.