Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tax Amnesty Jilid II Dinilai sebagai Langkah Mundur dalam Peningkatan Kepatuhan Pajak

Ekonom menilai tax amnesty jilid II memberi ruang bagi kejahatan finansial antar negara. Merasa dapat pengampunan maka tidak perlu ada konsekuensi hukum
Karyawan beraktivitas di DJP, Jakarta. Bisnis/Triawanda Tirta Aditya
Karyawan beraktivitas di DJP, Jakarta. Bisnis/Triawanda Tirta Aditya

Bisnis.com, JAKARTA - Program pengampunan pajak atau yang disebut program pengungkapan sukarela wajib pajak dalam RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dinilai sebagai sebuah langkah mundur dalam peningkatan kepatuhan pajak.

“Bukannya kepatuhan pajak yang didorong, tapi justru memberikan ruang bagi wajib pajak yang sudah diberi kesempatan tax amnesty 2016 lalu, tapi juga tidak ikut,” kata Direktur Center of Law and Economic Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira kepada Bisnis, Selasa (5/10/2021).

Bhima menilai, jika program pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II ditetapkan, maka yang terjadi adalah kepercayaan terhadap pemerintah akan menurun.

“Banyak yang berasumsi kalau ada tax amnesty jilid II, kenapa tidak mungkin ada tax amnesty jilid III? Akibatnya tax amnesty akan dijadikan peluang bagi pengemplang pajak,” jelasnya.

Sebagaimana diketahui, rencana pemerintah untuk kembali memberlakukan tax amnesty tertuang dalam RUU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Program tersebut menyasar dia kelompok wajib pajak. Pertama, wajib pajak yang belum melaporkan harta yang diperoleh sejak 1 Januari 1985 hingga 31 Desember 2015.

Kedua, wajib pajak orang pribadi yang memperoleh aset sejak 1 Januari 2016 hingga 31 Desember 2020 dan belum dilaporkan dalam surat pemberitahuan tahunan pajak penghasilan orang pribadi tahun pajak 2020 kepada DJP.

Bhima menyoroti dalam RUU HPP tersebut tidak dijelaskan mekanisme screening harta para wajib pajak yang ikut tax amnesty, misalnya melalui penugasan kepada (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) PPATK.

Pasalnya, selama tidak ada screening dan pengawasan, menurut Bhima, bisa saja harta yang dilaporkan adalah harta hasil pencucian uang, hasil kejahatan, atau aset hasil penghindaran pajak lintas negara.

Dalam Bab V RUU HPP Pasal 6 ayat (6) pun disebutkan bahwa data dan informasi yang bersumber dari surat pemberitahuan pengungkapan harta dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementerian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak.

“Justru tax amnesty jilid II memberi ruang bagi kejahatan finansial antar negara. Merasa dapat pengampunan maka tidak perlu ada konsekuensi hukumnya,” kata Bhima.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Maria Elena
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper