Bisnis.com, JAKARTA — MUC Tax Research menilai bahwa terdapat inkonsistensi pemerintah dalam penetapan skema tarif pajak penghasilan atau PPh dalam program Sunset Policy, karena terkesan memberikan 'kesempatan kedua' bagi peserta Tax Amnesty 2015 dengan tarif pajak relatif rendah.
Perhitungan ulang skema tarif PPh atas harta yang diungkapkan oleh wajib pajak itu tercantum dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Sunset policy menyasar dua kelompok pajak, yakni peserta Tax Amnesty 2016 yang belum mengungkapkan atau melaporkan harta yang dimilikinya per 31 Desember 2015. Lalu, wajib pajak orang pribadi yang memperoleh aset selama 2016–2019 dan masih dimiliki hingga 31 Desember 2019 tetapi belum dilaporkan dalam surat pemberitahuan (SPT) 2019.
Berdasarkan dokumen RUU KUP, tarif dalam Sunset Policy yang diusulkan pemerintah berkisar 12,5 persen–20 persen. Wajib pajak yang bersedia menempatkan dananya di surat berharga negara (SBN) setelah pelaporan akan dikenakan tarif 12,5 persen.
Direktur Eksekutif MUC Tax Research Wahyu Nuryanto menilai bahwa dengan besaran itu, pemerintah seolah-olah kembali memunculkan Tax Amnesty dalam bentuk jilid kedua. Dia menyatakan penolakan jika Sunset Policy menerapkan tarif yang relatif rendah.
"2016–2017 pemerintah secara jelas menyampaikan bahwa [Tax Amnesty] ini kesempatan terakhir bagi wajib pajak untuk mengungkapkan hartanya. Lalu, dalam RUU KUP, periode yang pernah masuk dalam Tax Amnesty diberi kesempatan lagi dengan tarif tebusan 15 persen, kalau bersedia investasi 12,5 persen, ini benar-benar Tax Amnesty jilid 2," ujar Wahyu kepada Bisnis, Selasa (28/9/2021).
Baca Juga
Meskipun begitu, dia menyatakan setuju atas pengenaan tarif pajak terhadap kelompok kedua, yakni pelaporan aset periode 2016–2019 oleh wajib pajak. Berdasarkan informasi yang diperoleh Wahyu, terdapat pengenaan pajak 30 persen bagi mereka dan menjadi 20 persen jika bersedia menempatkan dana di SBN.
Menurutnya, langkah ini cukup adil karena menyasar periode yang belum tercakup dalam program Tax Amnesty. Namun, pemerintah harus berhati-hati dalam menetapkan tarif untuk kelompok pajak pertama karena dapat menimbulkan inkonsistensi.
"Pemerintah pernah menyampaikan kalau ditemukan pada periode tadi dan tidak declare dalam Tax Amnesty akan dikenakan tarif pajak normal dengan tambahan sanksi administrasi sampai 200 persen, lalu ada tindakannya law enforcement, tapi jadi ada ketidakkonsistenan," ujarnya.
Wahyu mengkhawatirkan munculnya persepsi dalam benak wajib pajak bahwa tidak akan menjadi masalah jika tidak mengungkapkan hartanya, karena pemerintah pada akhirnya akan menerbitkan kebijakan lain yang tidak begitu memberatkan.
Bahkan, menurutnya, bisa saja wajib pajak tidak khawatir lagi dengan tindakan hukum yang akan dilakukan jika tidak mengungkap hartanya.
"Ada kecenderungan wajib pajak akan berharap ada Tax Amnesty lagi. Mungkin akan ada yang mencoba untuk berpikir ternyata yang kita takutkan akan ada law enforcment malah ada pengampunan lagi," ujar Wahyu.