Bisnis.com, JAKARTA - Alokasi dana bagi hasil (DBH) cukai hasil tembakau (CHT) untuk peningkatan kualitas bahan baku terkendala eksekusi aturan teknis di pemerintah daerah.
Sebelumnya, kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 206/2020 tentang penggunaan, pemantau, dan evaluasi DBH CHT. Berdasarkan beleid tersebut, ketentuan pagu alokasi DBH CHT yakni 50 persen untuk kesejahteraan masyarakat, 25 persen untuk penegakan hukum, dan 25 persen untuk kesehatan.
Bagian 50 persen kesejahteraan masyarakat dibagi menjadi 15 persen untuk peningkatan kualitas bahan baku bagi petani, dan 35 persen untuk subsidi harga.
"Masalahnya di daerah, menerjemahkan 35 persen untuk bantuan dan subsidi itu belum jelas," ujar Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Soeseno, Senin (20/9/2021).
Menurutnya, di beberapa daerah di Jawa Timur, pemerintah daerah masih berdiskusi dengan asosiasi mengenai mekanisme pengenaan subsidi agar tepat sasaran kepada petani dan bukan justru memberikan keringanan kepada pabrikan.
Kendala tersebut menyebabkan belum adanya dampak terhadap serapan tembakau petani ke industri. Adapun, alokasi 15 persen untuk peningkatan kualitas bahan baku telah berjalan di sejumlah daerah.
Baca Juga
"Ada beberapa kabupaten yang sudah mengalokasikan khusus untuk tembakau, di Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta sudah, hanya yang lain-lain belum," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Indef Andry Satrio Nugroho berpendapat rencana kenaikan tarif cukai hasil tembakau pada tahun depan, akan turut menekan DBH.
"DBH CHT diberikan kepada petani tembakau untuk mengembangkan perkebunannya. Nah ini tidak akan bisa terjadi kalau cukai hasil tembakaunya naik cukup eksesif," ujar Andry.
Dia pun mengusulkan adanya formulasi kenaikan CHT agar mudah diprediksi dan berdampak pada kepastian usaha bagi pelaku di seluruh rantai industri tembakau.
Sebelumnya, rata-rata kenaikan tarif cukai per jenis rokok tahun ini sebesar 12,5 persen. Secara rinci, kenaikan tarif cukai sigaret kretek mesin (SKM) sebesar 16,9 persen untuk golongan I, 13,8 persen untuk golongan II A, dan 15,4 persen untuk golongan II B. Sementara jenis sigaret putih mesin (SPM) adalah 18,4 persen untuk golongan I, 16,5 persen untuk golongan II A, dan 18,1 persen untuk golongan II B.
Kebijakan ini diambil melalui pertimbangan terhadap lima aspek, yaitu kesehatan terkait prevalensi perokok, tenaga kerja di industri hasil tembakau, petani tembakau, peredaran rokok ilegal, dan penerimaan.