Bisnis.com, JAKARTA — Rencana kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun depan diperkirakan akan langsung berdampak pada harga di tingkat petani.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Soeseno mengatakan kondisi harga tembakau saat ini ditingkat petani telah tergerus musim kemarau basah yang menyebabkan kualitas panen menurun. Kenaikan CHT biasanya akan diikuti dengan penurunan harga pembelian dari pabrikan ke petani.
"Ini biasa terjadi dalam beberapa tahun. Lebih-lebih kenaikannya diumumkan Oktober, itu musim pasar, biasanya harga tembakau langsung kacau, harganya tidak baik bagi petani," katanya dalam konferensi pers, Senin (20/9/2021).
Dia mengatakan harga rata-rata tembakau saat musim panen biasanya Rp40.000 per kg, tetapi saat ini masih jauh sekitar Rp23.000 per kg.
Soeseno juga mengatakan dampak kenaikan CHT telah dirasakan oleh petani sejak 2015, terutama karena penurunan harga pembelian dari pabrikan yang cukup tinggi. Pada tahun lalu, rata-rata kenaikannya mencapai 23,05 persen, diikuti dengan tahun ini sebesar 12,05 persen.
Sejak 2015, kenaikan tarif CHT pertama kali menyentuh double digit yakni pada 2016 sebesar 8,72 persen, setelah tahun sebelumnya di angka 8,72 persen. Selanjutnya pada 2017 terdapat kenaikan 10,54 persen, 2018 sebesar 10,4 persen, dan 2019 tidak terdapat peningkatan sama sekali.
Dengan naiknya tarif CHT, harga tembakau menjadi yang paling mungkin diturunkan oleh pabrikan. Sementara beban biaya lain seperti tenaga kerja, besarannya relatif tidak mudah diubah-ubah.
"Disamping petani menghadapi kemarau basah, petani juga akan menghadapi harga pasar tembakau, dan situasi pandemi juga masih sangat berat," ujarnya.
Adapun pemerintah akan menaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) pada tahun depan. Rencananya besarannya akan diumumkan pada Oktober 2021.