Bisnis.com, JAKARTA - Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) menyayangkan pemerintah tidak menggunakan formulasi cukai hasil tembakau (CHT) yang diterapkan pada 2018, yakni target pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi.
Ketua Umum Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Soeseno mengatakan pada 2018, estimasi kenaikan CHT dengan formulasi tersebut dipatok sebesar 8,9 persen. Namun, formulasi itu kini sudah tidak digunakan.
Pasalnya, pada tahun lalu rata-rata kenaikan CHT tercatat sebesar 23,05 persen, padahal ekonomi terkontraksi 2,07 persen dan inflasi hanya sebesar 1,68 persen.
"Mungkin pemerintah sedang butuh duit banyak, lalu dinaikkan jadi 23 persen," katanya dalam konferensi pers, Senin (20/9/2021).
Wakil Ketua Umum Asosiasi Koperasi Ritel Indonesia (Akrindo) Anang Zunaedi menambahkan, formulasi pertumbuhan PDB dan inflasi bisa menjadi win-win solution dari polemik kenaikan CHT yang terjadi setiap tahun. Menurutnya, angka kenaikan tarif CHT sebelum pandemi masih terhitung rasional.
"Tentu formulasi yang tepat, win-win solution, itu pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi," kata Anang.
Baca Juga
Menurutnya, penaikan tarif cukai CHT yang begitu besar menunjukkan kebijakan ini adalah langkah instan pemerintah untuk menaikkan pendapatan tanpa menggali sumber-sumber lain.
"Seakan-akan [penaikan CHT dalam jumlah besar] ini yang paling mudah, paling cepat dan pragmatis," lanjutnya.
Anang mengatakan selain berdampak ke petani, kenaikan cukai tembakau juga akan menekan daya jual peritel. Sebab penjualan rokok berkontribusi 50-60 persen dari total omzet.
Diketahui, rencana penaikan tarif CHT diawali dengan pertumbuhan target penerimaan cukai dari Rp180 triliun pada tahun ini menjadi Rp203,9 triliun pada tahun depan. Penerimaan cukai pada periode Januari-Juli 2021 mencapai Rp104,42 triliun.
Adapun penerimaan CHT pada periode tersebut tercatat sebesar Rp101,26 triliun atau 58,27 persen dari target Rp173,78 triliun.