Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PPN Bahan Pokok Rawan Risiko Politik dan Sosial

Pengenaan PPN bahan pokok bisa menimbulkan ongkos sosial dan politik yang lebih besar, karena ini menyangkut makanan pokok, menyangkut perut.
Beras lokal jenis premium Molas Lembor yang diproduksi para petani Lembor di Kabupaten Manggarai Barat, Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Foto: Antara dari BI Perwakilan NTT
Beras lokal jenis premium Molas Lembor yang diproduksi para petani Lembor di Kabupaten Manggarai Barat, Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Foto: Antara dari BI Perwakilan NTT

Bisnis.com, JAKARTA — Pengenaan pajak pertambahan nilai atau PPN barang kebutuhan pokok dinilai akan menimbulkan 'ongkos' sosial dan politik yang lebih besar sehingga menjadi masalah baru.

Alih-alih PPN barang pokok, pemerintah dinilai harus lebih fokus memungut pajak penghasilan atau PPh kelas kakap.

Peneliti center of food, energy, and sustainable development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah menjelaskan bahwa berdasarkan kalkulasinya, pengenaan PPN terhadap barang pokok hanya memberikan potensi pendapatan Rp21,1 triliun per tahun.

Jumlah itu hanya menyumbang 1,28 persen dari total penerimaan pajak 2019 atau 1,97 persen dari total penerimaan pajak 2020. Menurut Rusli, pendapatan yang relatif kecil tidak sepadan dengan risiko yang berpotensi muncul, khususnya kenaikan harga bahan-bahan pokok.

"Ini akan menimbulkan ongkos sosial dan politik yang lebih besar, karena ini menyangkut makanan pokok, menyangkut perut," ujar Rusli pada Selasa (14/9/2021).

Dia menjelaskan bahwa masalah sosial dan politik dapat muncul karena pengenaan PPN bahan pokok muncul di tengah pandemi Covid-19. Adanya PPN pun dinilai dapat memengaruhi produksi dan distribusi barang pokok yang akhirnya berpotensi meningkatkan harga.

Indef pun menyoroti jumlah sumber daya manusia (SDM) pajak yang masih sebanyak 45.000 orang, dengan jumlah penduduk Indonesia lebih dari 270 juta jiwa. Rasio itu terbilang sangat kecil, misalnya jika dibandingkan dengan Jepang yang memiliki 90.000 SDM pajak dan jumlah penduduknya 126 juta jiwa.

"Akan menambah beban kerja teman-teman fiskus, takutnya ada distorsi pemungutan di lapangan," ujar Rusli.

Indef menyarankan agar pemerintah lebih fokus menarik PPh untuk meningkatkan pendapatan negara di tengah pandemi. Langkah itu menurutnya akan memberikan pendapatan yang lebih signifikan sekaligus meningkatkan kepatuhan pajak.

"Apakah benar pengenaan PPN berkeadilan? PPN sembako sudah semua cuma Rp21 triliun. Lebih baik optimasi PPh pribadi orang kaya," ujarnya.

Selain itu, Rusli menilai bahwa informalitas perekonomian Indonesia masih sangat tinggi. Hal tersebut akan menjadi tantangan dalam penarikan PPh bagi pelaku usaha menengah yang sudah masuk kriteria sebagai wajib pajak.

Dia mencontohkan juragan bakso yang secara omzet sudah tinggi dan dapat dikenakan PPh, tetapi informalitas membuat belum terdapat pembukuan dalam bisnisnya.

Pemerintah perlu membimbing pelaku usaha itu dalam mendaftar sebagai wajib pajak, sehingga banyak manfaat yang dapat muncul.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper