Bisnis.com, JAKARTA — Pemerinta memilih membangun pabrik baterai sel terlebih dahulu dibandingkan merealisasikan pabrik pengolahan atau smelter nikel.
Langkah itu dinilai dapat meningkatkan nilai tambah nikel di dalam negeri sehingga membawa efek bagi perekonomian.
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menjelaskan bahwa Indonesia diberkahi nikel yang sangat melimpah sehingga menjadi potensi bisnis. Namun, kebijakan yang kurang tepat dapat membuat potensi itu tidak termaksimalkan.
Bahlil mencontohkan bahwa jika tidak terdapat pengolahan nikel di dalam negeri, Indonesia bisa saja mengekspor barang setengah jadi. Manfaat ekonomi dari langkah tersebut akan jauh lebih rendah ketimbang jika Indonesia mengembangkan produk jadi dari pengolahan nikel.
"Karena kalau dari smelter-nya tidak menutup kemungkinan barang setengah jadi kita kirim, itu tidak memberikan keuntungan lebih," ujar Bahlil pada Rabu (8/9/2021).
Dia menjelaskan bahwa pemerintah pun mendorong investasi untuk pembangunan pabrik baterai sel untuk kendaraan listrik, hingga akhirnya konsorsium LG pun akan mulai membangun pabrik di Bekasi, Jawa Barat. Groundbreaking pabrik dengan investasi senilai US$9,8 miliar tersebut akan dimulai pada pekan depan, Rabu (15/8/2021).
Baca Juga
Menurut Bahlil, adanya pabrik baterai sel itu dapat memastikan potensi nikel terserap hingga berbuah produk jadi. Produk itu pun nantinya akan diserap oleh pabrikan otomotif untuk pengembangan kendaraan listrik di Indonesia.
Dia mengaku bahwa kebijakan itu cukup dipengaruhi oleh pandangan ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Batubara, yang dikenal sebagai Faisal Basri, yakni agar berbagai sumber daya yang ada dimaksimalkan peningkatan nilainya di dalam negeri.
Bahlil pun menilai bahwa langkah itu akan mendorong pengembangan bisnis yang berkelanjutan. Dia berharap ekosistem kendaraan listrik pun dapat berkembang dengan baik di Indonesia.
"Dalam rangka mendorong transformasi ekonomi, bagaimana memberikan nilai tambah [dari potensi sumber daya yang ada] dengan instrumen industrialisasi," ujarnya.