Bisnis.com, JAKARTA — Kenaikan harga batu bara menambah beban industri tekstil yang sedang dalam masa pemulihan.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Tanzil Rakhman mengatakan dampaknya akan sangat signifikan karena sebagian besar produksi tekstil masih menggunakan batu bara.
Rizal menyebut kenaikan harga batu bara akan ikut mengerek biaya produksi sebesar 20 persen.
"Ini semakin menambah beban dan memperlambat percepatan pemulihan," ujarnya kepada Bisnis, Selasa (7/9/2021).
Dia berharap pemerintah segera turun tangan untuk memenuhi kebutuhan batu bara dalam negeri khususnya untuk kebutuhan industri.
Rizal bahkan mendorong pemerintah mengerek naik kewajiban pemenuhan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO).
"DMOnya mudah-mudahan bisa meningkat sehingga pasar domestik bisa lebih luas, harga [batu bara] bisa lebih turun," lanjutnya.
Sejauh ini perusahaan-perusahaan telah melakukan pengetatan dan efisiensi konsumsi. Namun jika berkepanjangan, hal ini akan berdampak pada turunnya utilisasi produksi yang diperkirakan berada di atas 50 persen sampai akhir tahun.
"Pasar kan belum sepenuhnya pulih, terutama di dalam negeri, jadi kalau ini belum kuat juga, ditambah lagi biaya, otomatis kami ada penurunan utilisasi," jelasnya.
Sebelumnya diketahui, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menetapkan persentase penjualan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri sebesar 25 persen dari rencana produksi tahunan yang disetujui. Jumlah tersebut antara lain untuk penyediaan tenaga listrik, kepentingan umum, dan bahan baku atau bahan bakar industri.
Pemerintah telah mengetatkan aturan tersebut melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 139.K/HK.02/MEM.B/2021 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batubara Dalam Negeri pada 4 Agustus 2021.
Sebagaimana diketahui, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengumumkan harga batu bara acuan (HBA) pada September 2021 mencapai US$150,03 per ton seiring kenaikan permintaan batu bara dari China.
Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM Agung Pribadi mengatakan bahwa angka tersebut naik US$19,04 per ton dibandingkan dengan Agustus 2021, yakni US$130,99 per ton. Kondisi tersebut disebabkan oleh adanya peningkatan permintaan batu bara dari China.
Selain itu, kebutuhan batu bara di China untuk pembangkit listrik juga telah melampaui kapasitas pasokan batu bara domestik.
“Ini adalah angka yang cukup fenomenal dalam dekade terakhir. Permintaan China yang tinggi melebihi kemampuan produksi domestiknya, serta meningkatnya permintaan batu bara dari Korea Selatan dan kawasan Eropa seiring dengan tingginya harga gas alam,” katanya.