Bisnis.com, JAKARTA — Pengusaha menyebut kebijakan subtitusi impor 35 persen pada 2022 yang dicanangkan Kementerian Perindustrian perlu mendapat dukungan ekstra karena akan menyangkut pada dampak besar yakni peningkatan daya saing produk nasional.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan tahun depan pandemi masih menjadi faktor penyebab ketidakpastian pertumbuhan usaha.
Alhasil, selama pemerintah bisa memastikan pengendalian pandemi dan normalisasi ekonomi berjalan lancar dan tidak terdistrupsi seperti saat ini, pelaku usaha juga optimistis pertumbuhan industri bisa maksimal.
"Namun, untuk mencapai target subtitusi impor 35 persen kami rasa perlu support ekstra karena faktor-faktor yang bermain di sini bukan hanya normalisasi kinerja industri tetapi peningkatan daya saing produk nasional terhadap produk impor," katanya kepada Bisnis, Minggu (29/8/2021).
Shinta menyebut banyak faktor yang harus dibenahi di dalam negeri untuk menciptakan subtitusi impor yang alami. Antara lain, faktor kesiapan industrinya, di mana ada syarat yang harus dipenuhi yakni produk subtitusi tersebut harus sudah ada industrinya di dalam negeri.
Faktor lain, lanjut Shinta, kecocokan supply chain yakni output industri hulu harus cocok dengan kebutuhan input industri hilirnya atau pembenahan domestic supply chain mismatch. Kemudian, faktor daya saing pasokan dalam negeri, yaknu produk dalam negeri harus comparable dengan impor dari segi kualitas dan harga perolehan bagi industri pemakai.
Baca Juga
"Juga faktor economic scale atau sejauh mana supply dalam negeri bisa meng-supply seluruh kebutuhan industri hilirnya. Kalau economic scale industri hulu sangat terbatas sementara industri hilirnya kebutuhan industri hilirnya sangat besar, tentu yang bisa dilakukan hanya diversifikasi supply bukan subtitusi impor," ujar Shinta.
Sementara itu, dia melanjutkan pemerintah juga harus memastikan bahwa industri betul-betul dipersiapkan lebih bersaing secara riil di pasar dalam negeri dan asing secara holistik.
Artinya, kata Shinta, bukan hanya menciptakan kebijakan yang mendukung penyerapan produk dalam negeri tetapi nantinya malah menurunkan daya saing produk-produk industri yang saat ini sudah bersaing di pasar nasional dan global.