Bisnis.com, JAKARTA — Kementerian Perdagangan menyebutkan pandemi Covid-19 sejak awal 2020 telah memberikan momentum perubahan pada pola perdagangan bilateral Indonesia dan China. Pertumbuhan ekspor ke Negeri Panda memberi optimisme perbaikan neraca dagang Indonesia ke depannya.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP) Kemendag Kasan Muhri menjelaskan pandemi telah berdampak negatif pada impor dari China. Namun, hal serupa tidak terjadi pada ekspor ke Negeri Panda.
Sepanjang 2020, impor Indonesia dari China tercatat terkoreksi 11,79 persen secara tahuan. Sementara itu kspor ke China masih tumbuh 13,66 persen.
“Bahkan pertumbuhan ekspor nonmigas Indonesi 2020 tumbuh 15,61 persen secara tahunan,” kata Kasan kepada Bisnis, Kamis (26/8/2021).
Pelemahan aktivitas perekonomian domestik Indonesia akibat dampak pandemi Covid-19 menekan demand produk-produk impor asal China. Sebagian besar impor merupakan produk-produk manufaktur, baik kelompok barang modal, konsumsi, ataupun bahan baku penolong.
Selain ekspor pada 2020 yang terjaga, dia mengemukakan bahwa pertumbuhan ekspor ke China tetap lebih tinggi dari pada impor pada masa pemulihan. Hal ini tecermin pada kinerja sepanjang semester I/2021 di mana ekspor ke China tumbuh 62,86 persen yoy dan impor tumbuh 39,77 yoy.
Baca Juga
Kasan mengemukakan hal tersebut memberikan optimisme bahwa ke depannya tren pertumbuhan ekspor ke China akan cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan impor.
“Hal ini menyebabkan terjadinya perbaikan neraca dagang Indonesia dan China, yang berubah dari defisit neraca menjadi surplus beberapa tahun ke depan,” tambah Kasan.
Sampai semester I/2021, defisit neraca perdagangan Indonesia dan China turun dari defisit US$4,58 miliar menjadi defisit US$3,21 miliar.
Adapun produk-produk yang menopang surplus perdagangan dengan China pada semester I/2021 dan diperkirakan berlanjut mencakup batu bara dengan surplus US$6,36 miliar, besi dan baja surplus US$4,27 miliar, lemak dan minyak nabati US$2,64 miliar, bubur kayu atau pulp sebesar US$1,17 miliar, dan kertas atau karton sebesar US$760 juta.
Kasan juga menambahkan bahwa kehadiran insentif bagi pelaku industri untuk mengintegrasikan rantai pasok di dalam negeri sebagai langkah strategis untuk mengantisipasi terganggunya rantai pasok global telah memicu tumbuhnya industri-industri yang menggantikan pasokan impor.
Lebih lanjut, jika impor manufaktur seperti produk elektronika dan mekanik berhasil ditekan, maka prospek perdagangan bilateral Indonesia dan China perkirakan positif dengan defisit yang mengecil.